Kamis, 14 Agustus 2008

Tanah (dan) Air

Tanah (dan) Air

Oleh: Zaim Uchrowi

"Indonesia tanah air beta, pujaan abadi nan jaya ..."

Di bulan Agustus, di waktu-waktu merah-putih berkibar bukan hanya di halaman rumah namun juga di hati, penggalan lagu itu terngiang jelas. Ada istilah 'tanah air' di situ. Istilah yang telah dibuhulkan dalam Sumpah Pemuda 1928 sebagai satu kesatuan sebagaimana bangsa dan bahasa bagi seluruh masyarakat di kepulauan nusantara ini. Kata 'tanah' dan kata 'air' bukan terpisah. Keduanya menyatu untuk dapat memberi makna tunggal yang dalam bahasa berarti 'negeri tempat kelahiran'.

Tanah dan air memang unsur alam yang berbeda, sebagaimana halnya angin dan api. Tanah adalah tempat berpijak. Ia tak bergerak, stabil, dan praktis tak berubah dari waktu ke waktu. Air adalah pemberi kehidupan. Ia bersifat dinamis, fleksibel, serta mampu mengisi setiap celah yang terbuka. Keduanya saling memperkuat. Tanah tidak akan menumbuhkan kehidupan tanpa air. Sebaliknya, air tidak akan mampu melahirkan kehidupan yang terstruktur secara baik tanpa tanah sebagai penopang. Ketika keduanya menyatu, tumbuhlah kesuburan yang dapat memberi kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, tanah dan air juga memberi pengaruh berbeda yang membentuk budaya. Budaya tanah mendorong pada terciptanya karakter teguh, tenang, serta menjunjung keselarasan dan harmoni. Sebuah karakter budaya yang merujuk pada sosok gunung yang cenderung tampak agung dan damai. Sebaliknya, budaya tanah mendorong pada terbangunnya karakter dinamis, berani, serta selalu siap mengeksplorasi semua hal yang tak terjangkau mata. Sebuah karakter budaya yang merujuk pada samudra yang menghampar luas seperti tanpa batas serta menggelora.

Haruskah keduanya dipisahkan? Tidak. Dalam perjalanan bangsa, saat kedua budaya itu menyatu, kemakmuranlah yang dirasakan masyarakat. Pada sejarah lama, kedua budaya berjalin kuat seperti yang tampak pada hubungan Sriwijaya dengan Mataram (lama), dua kekuasaan yang berakar pada agama berbeda. Sriwijaya mewakili budaya air, dan Mataram mewakili budaya tanah. Jalinan keduanya menghasilkan kemakmuran yang, antara lain, tergambarkan melalui keberadaan Borobudur sebagai candi Budha terbesar di dunia yang ada di pusat Hindu saat itu. Kejayaan terus berlanjut.

Kemakmuran masyarakat berlanjut hingga masa para saudagar Muslim mempertautkan seluruh pulau di kawasan ini dengan kapal-kapal dagangnya. Itu dulu. Kekuasaan kolonial tahu persis, agar dapat menghisap kekayaan bangsa ini, kedua budaya itu perlu dipisahkan. Tanah air pun dipisahkan menjadi tanah dan air.

Sejak masa Amangkurat II, Belanda mematikan budaya air bangsa ini. Kekuatan dinamis bangsa ini melalui perdagangan dan penyebaran ilmu pengetahuan dimatikan. Dengan jalan itu, bukan hanya budaya air yang mati namun daya makmur budaya tanah juga melemah, sehingga bangsa ini dipaksa bergantung pada luar. Itu yang disadari kuat oleh Samanhudi, Tjokroaminoto, hingga Hatta. Namun, penjajahan yang panjang dan sistematis telah membuat bangsa ini tak segera mampu membangkitkan kembali budaya airnya.

Tanah dan air harus dipersatukan lagi menjadi tanah air agar seluruh masyarakat sejahtera. Untuk itu, budaya air perlu dibangkitkan sehingga dapat mengisi celah-celah budaya tanah yang hingga sekarang masih kokoh berada. Itu tugas kita. Jika para pemimpin umat dan pemimpin masyarakat bergerak ke sana, dan bukan semata sibuk pada persoalan normatif dan formalitas struktural, tak akan lama bagi Indonesia untuk kembali berjaya, dan membuat seluruh masyarakat sejahtera.mr-resonansirepublika

Tidak ada komentar: