Senin, 25 Agustus 2008

Setelah Olimpiade Beijing

Setelah Olimpiade Beijing

Oleh I Wibowo

Olimpiade Beijing 2008 telah selesai! London dan penduduknya pun menjadi pusing: apa yang akan mereka tampilkan setelah Beijing berhasil menggelar semua kemewahan yang serba superlatif itu? Pusing karena biaya yang selangit, tetapi juga karena tingkat kreativitas yang mencapai titik setinggi itu.

Situasi ini juga akan membayang-bayangi kota-kota yang akan menyelenggarakan olimpiade setelah London. Atlet-atlet yang pernah mengikuti Olimpiade Beijing 2008 pasti akan membandingkannya dengan kehebatan Olimpiade Beijing itu. Ratusan juta pemirsa televisi di seluruh dunia pasti juga akan membandingkannya penyelenggaraan pesta olahraga paling megah itu.

China atau Beijing telah mematok sebuah standar penyelenggaraan olimpiade yang sangat tinggi. Ada hal lain yang berhasil ditancapkan China, yaitu kehebatan China secara keseluruhan. Semua pengamat mengakui bahwa sukses China menyelenggarakan Olimpiade Beijing 2008 ini merupakan panggung pementasan sukses reformasi China yang dimulai persis 30 tahun yang lalu (tepatnya Desember 2008). Baik bagi yang datang ke Beijing maupun yang tidak, ada satu pertanyaan besar yang menggantung di awang-awang: bagaimana China mencapai semua ini?

Hasil kerja keras

Negara maju memang sering memakai istilah yang sangat menggurui: ”keajaiban”. Seolah-olah apa yang terjadi di China bukan hasil kerja keras, tetapi sebuah kerja simsalabim! Sukses China terdiri dari dua elemen yang digabung: politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Kombinasi cantik dua hal ini kini diterima sebagai ”rahasia sukses” China untuk mengembangkan ekonominya dan meraup kekayaan yang melimpah sehingga dapat menyelenggarakan olimpiade yang tiada tara itu.

Politik iliberal artinya politik itu dijalankan di bawah kepemimpinan Partai Komunis China (PKC). Layaknya partai komunis, PKC melandaskan dirinya pada prinsip-prinsip Leninis, yang tidak mengizinkan munculnya partai-partai. Kalau orang mau menyalurkan pendapatnya, ia harus memakai saluran yang disediakan oleh PKC. Ada ”Dewan Konsultasi Nasional” yang menampung dan mengolah pendapat golongan yang tidak mau masuk PKC. Kepala desa dipilih lewat pemilihan umum di pedesaan, tempat 70 persen rakyat China hidup, tetapi media massa, juga internet, masih diawasi oleh partai. Hal ini menyebabkan timbul pendapat bahwa partai masih memaksakan pendapatnya. Namun, perbaikan dalam sistem hukum selama 30 tahun terakhir ini merupakan petunjuk bahwa partai lebih tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Anggota partai kini bisa dituntut di pengadilan, apalagi yang terlibat dalam korupsi.

Sistem pasar yang semiliberal berarti bahwa negara masih menjalankan serangkaian intervensi dalam perekonomian yang sejak tahun 1978 melepaskan diri dari sistem ”terencana oleh pusat”. Akibat diterapkannya sistem pasar bebas ini berhasil melambungkan pertumbuhan ekonomi China menjadi seperti sekarang. Peran pengusaha swasta—asing maupun nasional—memainkan peran yang bebas. Meskipun demikian, seperti diketahui oleh semua pengamat, negara tetap menjalankan intervensi lewat empat bank terbesar milik negara, mengandalkan lebih dari 100 badan usaha milik negara (BUMN), mengatur sektor-sektor investasi asing, dan yang paling penting menjalankan kontrol atas devisa.

Dengan sendirinya, dua hal di atas bertabrakan dengan ideologi ”globalisme” saat ini yang berisi pasar bebas dan demokrasi. Globalisasi dengan ideologi globalisme seperti yang ada sekarang sedemikian gencar dipropagandakan di seluruh dunia oleh Amerika Serikat dan organisasi internasional yang didirikannya (Dana Moneter Internasional/IMF, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia/WTO). Akibatnya, di seluruh dunia saat ini dibanjiri oleh wacana pasar bebas dan demokrasi. (Manfred Steger, Globalism, 2005) Semua negara di dunia ”harus” menerapkan pasar bebas dan demokrasi tanpa kecuali. Kalau tidak, ia akan berada di luar lingkaran yang dibangun oleh AS itu dan akan kena sanksi yang sepadan.

Deng Xiaoping bukan Mao Zedong yang dengan garang melawan AS. Bahkan, Deng sejak awal tidak mempunyai rencana atau garis besar bagaimana menjalankan reformasi ekonomi di China. Pedomannya hanya satu: tidak peduli kucing hitam atau kucing, yang penting kucing yang bisa menangkap tikus. Sangat menarik bahwa pragmatisme seperti ini malah menghasilkan bangunan politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal. Semua ini bertentangan dengan ideologi globalisme yang dipromosikan oleh AS, dan dengan demikian Deng Xiaoping dan pengganti-penggantinya akhirnya secara tidak langsung telah menjalankan kebijakan anti-AS.

Arah globalisasi bergeser

AS tentu saja tidak mau menyerah begitu saja. Pertentangan dua wacana ini sangat kentara sebelum dan selama berlangsungnya olimpiade. Presiden Bush pagi-pagi sudah mengkritik tiadanya kebebasan beragama di China. Media yang dikendalikan oleh AS dengan gencar mengejek dan mengkritik China yang mengontrol mereka. China membalas secara frontal dan menolak kritik maupun ejekan itu. ”Kalau Anda ingin keamanan, polisi dan tentara harus dibiarkan untuk menjaga Anda,” kata mereka.

Setelah Olimpiade Beijing 2008, globalisasi dengan nilai-nilai yang American oriented telah berubah atau bergeser. ”Globalisasi dengan ciri khas China” kini muncul di horizon, menempatkan China sebagai acuan bagi dunia. China kini menjadi contoh atau model pembangunan yang berhasil. Secara diam-diam banyak negara sedang berkembang percaya bahwa model China itu pantas mereka tiru. Wacana seperti ini, yang dikenal dengan nama ”Beijing Consensus” merambat cepat ke seluruh dunia. Bukan pasar bebas dan demokrasi yang menggoda mereka, juga bukan politik totaliter atau pasar tertutup, tetapi yang ada di antaranya.

I Wibowo Kepala Centre for Chinese Studies, FIB Universitas Indonesia.mr-kompas.

Tidak ada komentar: