Rabu, 20 Agustus 2008

Gempita Pemimpin Muda

Gempita Pemimpin Muda

Amich Alhumami
Peneliti Sosial Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

Suhu politik nasional mulai panas menjelang pemilu legislatif dan pilpres 2009. Parpol dan politisi makin intensif melakukan manuver politik untuk menjajaki koalisi dan membangun aliansi strategis. Bahkan, banyak pula politisi yang telah berikrar maju menjadi calon presiden.

Manuver politik paling heboh adalah deklarasi politisi dan intelektual muda untuk ikut berkompetisi dalam pilpres. Gempita deklarasi pemimpin muda ini amat terasa karena mendapat liputan media demikian luas. Dengan penuh keberanian (baca: kenekatan), para pemimpin muda mendeklarasikan diri sebagai capres alternatif. Mereka membuat klaim sepihak bahwa Indonesia membutuhkan capres muda yang berpikiran progresif dan bervisi masa depan vis-a-vis capres tua yang konservatif, jumud, uzur, dan tak punya pemikiran visioner.

Dengan romantisme historis yang diekspresikan secara salah kaprah, para pemimpin muda mengulang-ulang ilustrasi bahwa Indonesia pada masa awal kemerdekaan dipimpin oleh orang-orang muda berusia 40-an tahun, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir. Dengan reiterasi tamsil ini, tanpa sadar pemimpin muda telah membuat kekeliruan mendasar dalam menginterpretasi peristiwa sejarah beserta tokoh-tokoh pelaku sejarah.

Soekarno dan kawan-kawan yang tampil sebagai pemimpin bangsa dalam usia muda lahir dari pergulatan sejarah yang amat panjang dalam proses perjuangan kemerdekaan. Mereka terlibat aktif dalam dinamika perjuangan politik fisik dan diplomasi untuk mewujudkan sebuah negara merdeka. Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan adalah pejuang bangsa dalam makna paling hakiki, punya reputasi gemilang di dalam negeri dan internasional, ideolog sekaligus intelektual dengan basis pemikiran kuat dan visi cemerlang mengenai sebuah negara-bangsa berdaulat.

Profil, pemikiran, dan rekam-jejak mereka sebagai pejuang dan tokoh pergerakan kemerdekaan mengendap dalam memori kolektif bangsa karena mereka benar-benar tampil sebagai sosok historis, bukan figur yang hanya ada dalam imajinasi belaka. Segenap warga bangsa mengakui Indonesia merdeka merupakan puncak pencapaian kolektif mereka sebagai tokoh pergerakan dalam perjuangan merebut dan menegakkan kedaulatan bangsa.

Karena itu, Soekarno dan kawan-kawan muncul sebagai pemimpin bangsa berdasarkan public recognition dan popular acknowledgment dari segenap rakyat Indonesia. Tak heran mereka memiliki kombinasi tiga keutamaan/kekuatan sekaligus, yaitu political privilege, moral authority, dan political credential sehingga punya legitimasi kuat sebagai pemimpin bangsa yang otentik dan genuine.

Berbeda dengan para pemimpin bangsa generasi Soekarno, tokoh-tokoh muda yang mematut diri menjadi capres adalah pemimpin yang lahir dari kreasi dan rekayasa media serta produk iklan. Nyaris tanpa pengabdian dan dedikasi kepada bangsa, mereka tiba-tiba saja ditasbihkan sebagai pemimpin di tengah kilatan lampu blitz para juru foto dan sorotan kamera televisi.

Para pemimpin yang lahir melalui proses demikian jelas tak otentik, tidak genuine, mengingat kemunculan mereka sebagai pemimpin ditempuh melalui cara amat sederhana, yakni self-declaration dan instant revelation, baik dalam bentuk pemberitaan koran, majalah, televisi, maupun iklan politik di berbagai media, serta baliho dan spanduk di jalanan.
Runtut logika yang dibangun para pemimpin muda ini mengabaikan satu dimensi penalaran publik yang sangat fundamental. Mereka berasosiasi diri dengan pemimpin bangsa generasi Soekarno hanya dalam konteks usia muda semata, tetapi tidak dalam konteks pemikiran, perjuangan, pengabdian, dan dedikasi tulus kepada bangsa yang terbaca dalam rekam jejak dan sejarah hidup mereka.

Tak heran bila pemimpin muda sama sekali tak memiliki privilege politik, kewibawaan moral, dan kredensial politik. Padahal, ketiga hal esensial inilah yang justru menjadi barometer utama bagi seseorang untuk memperoleh pengakuan publik bahwa yang bersangkutan memang layak dinobatkan sebagai pemimpin.

Kaum muda membuat perbandingan hanya dari segi umur belaka, bukan prestasi yang diraih dan pencapaian yang ditorehkan tokoh-tokoh bangsa, yang kepada siapa mereka mengidentifikasi diri itu. Mungkin lantaran memendam obsesi secara berlebihan untuk menjadi presiden, kaum muda lupa bahwa masalah umur juga gelar akademik sama sekali tak relevan dan bukan faktor penting untuk bisa menjadi pemimpin yang baik.

Membuat perbandingan dengan Soekarno dan para pelaku sejarah segenerasi jelas terlampau jauh. Becerminlah pada sosok cendekiawan masyhur, Soedjatmoko, yang dalam usia sangat belia, 25 tahun, telah mengukir prestasi gemilang di pentas internasional sebagai delegasi RI di PBB, berpidato dalam bahasa Inggris yang amat mengesankan di depan tokoh-tokoh dunia, dan berdiplomasi dengan gigih mengenai status kedaulatan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka.

Terkesima oleh kecendekiaan dan kepiawaian diplomasi seorang Soedjatmoko, di kemudian hari komunitas internasional memberi kepercayaan kepadanya untuk memimpin Universitas PBB dan hanya karena Soeharto tak mau kalah pamor di pentas dunia sajalah cendekiawan humanis ini gagal menjadi Sekjen UNESCO.

Kini cermati rekam jejak dan pencapaian para pemimpin muda itu, paling tinggi mungkin pengalaman heroik sebagai demonstran jalanan ketika menjadi aktivis gerakan mahasiswa. Atau menjadi anggota parlemen melalui jalan patronase politik dan bergantung pada orang kuat di partai, yang sama sekali tak mencerminkan kekuatan individual.

Jika pencapaian ini yang dijadikan modal maju menjadi capres, para pemimpin muda pastilah terhanyut dalam sikap yang dalam drama Shakespeare, Henry IV, disebut the fallacy of heroism. Heroisme palsu antara lain ditandai (i) menokohkan diri sendiri sebagai pejuang dan pahlawan; (ii) menghargai diri sendiri terlampau tinggi; (iii) waham menjadi orang besar, populer, dicintai, dan didukung rakyat; (iv) tak berpijak pada dan keliru menginterpretasi realitas politik.

Kekeliruan mengidentifikasi dan berasosiasi diri dengan pemimpin bangsa serta gejala heroisme palsu bisa dialami siapa saja. Namun, suatu kenaifan luar biasa bila menimpa aktivis politik, politisi terpelajar, dan intelektual bergelar doktor. Para pemimpin muda bahkan memahami dan menginterpretasi peristiwa sejarah beserta tokoh-tokoh pelaku sejarah saja keliru, bagaimana mereka bisa menjadi pemimpin bangsa yang otentik dan sejati? Penting dicatat, menjadi pemimpin jelas tidak bisa dilakukan dengan klaim personal atau sekadar deklarasi-diri, tetapi harus muncul melalui pengakuan publik secara tulus karena yang bersangkutan telah mendemonstrasikan suatu pencapaian besar, individual, maupun kolektif.

Jika menjadi pemimpin bisa ditempuh hanya melalui iklan politik dan deklarasi diri, Tukul Arwana jauh lebih piawai melakukannya. Saksikan dunia politik kini telah berubah menjadi pentas hiburan dan selebriti di mana artis dan politisi dengan mudah saling bertukar tempat dan peran. Menyedihkan memang, selama satu dekade reformasi praktik politik Indonesia hanya beranjak dari panggung Srimulat ke panggung ketoprak humor.mr-opinirepublika

Tidak ada komentar: