Minggu, 24 Agustus 2008

Mengisi Kemerdekaan dengan Nilai-nilai Ubudiyyah Oleh: Didin Hafidhuddin

Mengisi Kemerdekaan dengan Nilai-nilai Ubudiyyah Oleh: Didin Hafidhuddin

Tidak ada yang pantas untuk kita ucapkan, selain rasa syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nyalah segenap komponen masyarakat dan bangsa dapat merayakan hari kemerdekaan yang ke-63 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2008 minggu yang lalu.

Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat bersejarah karena tepat 63 tahun yang lalu para pemimpin bangsa ini bersama seluruh lapisan masyarakat telah mendeklarasikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat, yang berhak menentukan nasibnya sendiri, dan telah terbebas dari belenggu penjajahan asing. Kemerdekaan yang diraih merupakan hasil dari sebuah proses perjuangan yang sangat panjang, yang bergelimang dengan darah dan air mata, serta dihiasi dengan pengorbanan yang luar biasa, baik harta maupun nyawa, demi meraih cita-cita dan harapan masa depan yang lebih baik.

Kemerdekaan pada dasarnya merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi setiap pribadi ataupun bangsa. Kemerdekaan merupakan hak yang sangat asasi dan bersifat fundamental dalam kehidupan. Sehingga, jika kemerdekaan seorang individu terganggu, dengan serta-merta ia akan berusaha merebut kembali kemerdekaannya itu. Yang perlu disadari adalah kemerdekaan itu akan dapat menjadikan hidup menjadi lebih berarti dan bermakna, manakala diisi dan dihiasi dengan nilai dan norma agama serta amal yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat menghormati kemerdekaan setiap individu dan bangsa. Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk yang dilahirkan dalam keadaan merdeka. Sehingga, segala bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap kemerdekaan setiap individu dan bangsa sangat ditentang oleh ajaran Islam. Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap setiap manusia yang lahir ke dunia, meskipun memiliki berbagai perbedaan latar belakang suku, kekayaan, kedudukan, status sosial, ataupun atribut keduniaan lainnya. Rasul dengan tegas bersabda, ''Wahai sekalian manusia, kalian semua berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Tidaklah orang Arab lebih mulia daripada orang non-Arab dan tidak pula orang kulit putih lebih baik daripada orang kulit hitam, kecuali karena ketakwaannya.'' (Al Hadis).

Sudah menjadi sunatullah bahwa manusia diciptakan dengan beragam karakter dan latar belakang, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Namun, dengan adanya perbedaan ini, tidak secara otomatis menjadikan suatu bangsa menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan bangsa lain. Allah SWT menciptakan kita berbeda-beda dengan tujuan agar kita saling mengenal dan saling berinteraksi atas dasar prinsip persamaan (QS Hujuraat [49]: 13). Kemuliaan seseorang ataupun suatu bangsa dibandingkan dengan individu/bangsa lainnya hanya ditentukan oleh satu indikator, yaitu ketakwaan kepada Allah SWT. Semakin tinggi derajat ketakwaan suatu bangsa, akan semakin mulia bangsa tersebut. Bangsa yang bertakwa akan senantiasa mendapat rahmat dan karunia-Nya.

Sebaliknya, semakin kufur suatu bangsa, akan semakin hina bangsa tersebut. Allah pun akan menurunkan kepada bangsa yang kufur kepada-Nya dengan berbagai limpahan azab dan kesulitan hidup, seperti dikisahkan dalam QS Annahl [16]: 112, yang artinya, ''Dan, Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.''

Kemerdekaan yang hakiki bukanlah semata-mata membebaskan diri dari belenggu penjajahan asing. Tetapi, lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki adalah kemampuan untuk membebaskan diri belenggu hawa nafsu. Manusia yang merdeka adalah manusia yang mampu memerdekakan dirinya dari berbagai penghambaan kepada sesuatu, selain Allah SWT. Seorang pejabat yang merdeka adalah pejabat yang mampu membebaskan dirinya dari ambisi-ambisi pribadi (dan keluarganya) serta hanya memikirkan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Ia memandang jabatan itu sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Zat yang Mahamerdeka, yaitu Allah SWT.

Ia akan selalu berusaha untuk mengikis habis ruang-ruang bagi berkembangnya praktik-praktik KKN. Seorang ulama/cendekiawan yang merdeka adalah ulama yang hanya takut kepada Allah SWT (QS Faathir [35]: 28), yang selalu menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada masyarakat banyak. Ia tidak akan melakukan upaya pembodohan kepada masyarakat, apalagi dengan menggunakan dalil-dalil dan alasan-alasan yang sengaja didistorsikan atau disalahtafsirkan. Seorang penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, ataupun pengacara) yang merdeka adalah orang yang memiliki komitmen kuat untuk menjadikan hukum yang benar sebagai panglima. Asas keadilan dan objektivitas akan benar-benar dijunjungnya.

Ia tidak akan berani mempermainkan hukum hanya karena iming-iming jabatan dan materi. Hukum akan ditegakkannya tanpa pandang bulu. Seorang pengusaha yang merdeka adalah pengusaha yang ingin meraih keuntungan dengan cara-cara yang elegan dan berakhlak serta tidak menghalalkan segala macam cara. Seorang pegawai/buruh yang merdeka adalah orang yang berusaha mengoptimalkan potensi dirinya untuk meraih prestasi kerja yang baik dan yang bermanfaat, dengan landasan ibadah kepada Allah dan mencari rezeki yang halal. Rakyat dan bangsa yang merdeka adalah rakyat yang kritis dan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan bangsanya serta menjadikan amar ma`ruf nahyi mungkar sebagai bagian integral dari kehidupannya. Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 104, ''Dan, hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.''

Salah satu contoh ajaran Islam yang sarat dengan nilai kemerdekaan diri dalam pengertian di atas adalah ajaran zakat. Ajaran ini dapat membebaskan umat manusia, terutama umat Islam dari penjajahan dan belenggu kefakiran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, jeratan utang, dan perbudakan (QS Attaubah [9]: 60). Jika ZIS ini dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, baik pengambilan maupun pendistribusiannya, bangsa Indonesia yang secara politis telah merdeka, insya Allah secara ekonomi, budaya, dan bahkan harga diri, akan menjadi manusia yang sungguh-sungguh merdeka dan berdaulat.

Karena itu, sudah saatnya, sebagai perwujudan dari rasa syukur terhadap nikmat kemerdekaan ini, umat Islam Indonesia harus terus-menerus menggalakkan ZIS agar semakin berdaulat dan semakin kuat dalam berbagai bidang kehidupan. Apalagi, minggu depan (awal September 2008), insya Allah kita akan memasuki bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan kemuliaan. Salah satu tujuan utama ibadah shaum pun adalah membebaskan manusia dari belenggu penjajahan hawa nafsu. Mari, kita merdekakan diri kita dengan mengoptimalkan pelaksanaan ibadah-ibadah kepada-Nya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.mr-resonansirepublika

Tidak ada komentar: