Rabu, 20 Agustus 2008

Hanya Dua Koran

Hanya Dua Koran

Oleh: Arys Hilman

Berapa koran Anda baca setiap hari? Lebih dari tiga? Lima tahun ke depan, Anda mungkin kian pelit merogoh dompet untuk membelinya. Hanya akan ada dua jenis koran dalam beberapa tahun ke depan. Pertama, koran yang survive alias selamat. Kedua, koran yang mati--karena gagal bersaing dengan jenis media lain.

Mungkin Anda tetap bertahan dengan koran-koran Anda. Tapi, ini hanya bermakna bahwa Anda gagal mengikuti tren media. Koran, di masa depan, hanyalah media para warga senior alias lansia berusia 60-an. Lihatlah, saat ini pun, anak-anak muda lebih asyik dengan telepon genggam atau komputer jinjing untuk menadapatkan kabar terkini yang mereka inginkan.

Pada satu titik, koran akan semakin tidak efisien. Harga kertasnya sangat mahal, seiring isu lingkungan dan munculnya teknologi penampil informasi visual yang lebih efisien. Pelajaran datang dari Amerika Serikat (AS). Dari 50 koran metro terkemuka, sekitar 19 di antaranya merugi. Dan, angka koran yang gagal menggaet laba itu terus melonjak dari tahun ke tahun.

Pengeluaran iklan global untuk koran memang naik terus sejak 2002, dari angka 100 ribu dolar AS menjadi 110 ribu dolar AS (2005) dan nyaris 120 ribu dolar AS pada 2007. Namun demikian, pangsanya terus mengecil dan tergerogoti media internet. Pada 2002, koran masih memegang 34 persen pangsa iklan, namun tahun ini diperkirakan tinggal 25 persen. Sementara pangsa internet terus melambung dari 3 persen pada 2002 menjadi 13 persen pada 2008. Koran gagal mempertahankan kekuasaannya dibanding televisi yang stabil pada posisi sekitar 38 persen selama delapan tahun terakhir.

Isu kematian koran sebenarnya telah hadir sejak puluhan tahun lalu, setelah radio dan televisi hadir. Isu ini menguat kembali sepuluh tahun lalu saat internet mulai menjamur. Faktanya, koran bertahan dan berbagi peran dengan radio, TV, dan internet, dan tetap tak tergantikan untuk berbagai hal.

Rupert Murdoch, meskipun merupakan figur yang kontroversial di kalangan media, berada pada posisi penting dalam sejarah pertahanan koran. Ia membuat koran relevan dengan anak-anak muda, kendati dengan cara rendahan. Murdoch membawa koran dari bisnis dunia yang serius ke bisnis hiburan belaka.

Puluhan tahun lalu, Murdoch melebarkan sayap dari Australia ke Eropa dan Amerika. Ia memulai dengan membeli koran London dan mengubahnya menjadi media sensasi. Ia mendobrak dunia sakral jurnalistik dengan menentukan berita apa yang layak turun dan politisi mana yang harus didukung. Ia memang sempat menandatangani perjanjian untuk tidak mencampuri urusan newsroom saat membeli Times, tapi itu cuma janji kosong.

Ketika menyeberang ke Amerika pada 1973, Murdoch pun bermulut manis tentang kebebasan media, namun keberhasilannya pada sejumlah proyek penerbitan membuat dia semakin percaya diri dan berkata, ''Para wartawan Amerika benar-benar tak mengerti bagaimana harus bersaing.'' Kalimat yang kurang lebih sama saat dia mulai menguasai London Times, ''Kalau saya bisa mengarahkan para redaktur di seluruh dunia, kenapa di sini tidak.'' Wajar, Murdoch hidup dalam caci maki. ''Musang berbulu ayam,'' komentar orang tentangnya.

Situasi kini tentu berbeda. Pertarungan kian keras dan sekadar bisnis hiburan belum tentu menyelamatkan koran. Dan, kita mafhum bahwa Murdoch sesungguhnya tidak pernah dalam posisi mempertahankan koran; dia hanya mempertahanakan laba, tak peduli itu datang dari koran, atau televisi, atau internet.

Siapakah lawan tertangguh koran? Televisi dan radio terbukti gagal membunuh media baca ini. Namun, internet menjadi tak tertahankan karena bisa mencakup semua aspek: Kabar tulis, video, televisi, dan radio. Sekadar web saja sebenarnya tak terlalu mencemaskan, namun perkembangan jejaring sosial dan wujud Web 2.0 menjadi ancaman terbesar mengingat karakter umpan baliknya yang nyaris real time. Dunia beralih dari dominasi web dalam pengertian jenis mesin cetak ke dunia web lain yang mengandalkan kecepatan transfer data digital. Anak-anak kita akhirnya lebih fasih menjelaskan apa itu MySpace atau Facebook atau Youtube, daripada harus menjelaskan perbedaan New York Times dengan Wallstreet Journal.

Kabar tentang tawuran di kelurahan sebelah tak perlu lagi Anda nanti sampai koran terbit besok. Menit ini pula, warga kelurahan sebelah sudah melaporkannya untuk Anda, dalam berbagai versi yang saling melengkapi. Kabar muncul dalam bentuk teks, suara, maupun gambar. Umpan balik yang berperan sebagai konfirmasi atas kabar-kabar itu pun bisa segera muncul, sementara pada saat yang sama wartawan masih sibuk mencari narasumber yang kompeten.mr-republika

Tidak ada komentar: