Jumat, 29 Agustus 2008

Bung Hatta Pernah Menangis Melihat Kondisi Perbatasan

Bung Hatta Pernah Menangis Melihat Kondisi Perbatasan



Oleh Iskandar Zulkarnaen

Samarinda (ANTARA News) - "Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku," kata Muhammad Hatta, pada 1928 di depan pengadilan Belanda, Den Haag.

Sang Proklamator diadili karena kegigihan perjuangannya dalam menuntut Indonesia merdeka.

Delapan puluh tahun kemudian, ucapan Bung Hatta itu dikutip berapi-api oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2008.

Negeri yang dikatakan Bung Hatta itu adalah Republik Indonesia, dan usaha yang dimaksudkannya adalah usaha Bangsa Indonesia.

Menyimak pidato panjang presiden, ada hal yang tampaknya belum berubah, yakni penanganan masalah perbatasan, yang masih dipandang "sebelah mata" oleh pemerintah.

Presiden Yudhoyono dalam pidato panjangnya hanya menyinggung masalah perbatasan dalam satu alenia.

"Khusus pembangunan wilayah perbatasan, kita lakukan melalui pendekatan beberapa aspek, terutama aspek demarkasi dan delimitasi garis batas Negara, disamping melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan, politik, hukum, dan keamanan. Prinsipnya adalah, wilayah perbatasan kita harus dianggap sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukannya halaman belakang negara kita." Hanya itu yang disampaikan Presiden.

Kalaupun ingin mengkaitkan, maka presiden sebelumnya mengucapkan, "Dalam menegakkan kedaulatan negara, kebijakan pertahanan negara kita arahkan pada peningkatan profesionalisme dan kemampuan TNI. Kemampuan pertahanan negara, juga terus kita tingkatkan, antara lain dengan pemeliharaan kekuatan pokok minimum (minimum essential force), kesiapan alutsista, dan terselenggaranya latihan secara teratur. Pada bulan Juli lalu, telah dilaksanakan Latihan Gabungan TNI yang pertama sejak tahun 1996. Latihan gabungan ini, harus dilakukan secara berkala, agar Prajurit dan Satuan TNI tetap siaga, profesional, dan berkemampuan tinggi, untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah kedaulatan NKRI".

Berbeda dengan unsur dan aspek lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan politik yang begitu mendalam dan mendetail termasuk alokasi dananya, maka pandangan pemerintah mengenai masalah wilayah perbatasan seakan-akan hanya sepotong kalimat yang melengkapi pidato panjang presiden.

Masih lekat dalam ingatan, Indonesia yang sebenarnya memiliki fakta sejarah cukup kuat, akhirnya kalah dengan Malaysia dalam pengadilan di Mahkamah Internasional Den Haag, Belanda karena dianggap mengabaikan lingkungan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, 2003.


Tidak berubah

Pemerintah RI sepertinya lupa, bahwa setelah kalah di Mahkamah Internasional, sebenarnya Indonesia masih menghadapi masalah serius terkait kawasan perbatasan, yakni ancaman kehilangan blok Migas kaya di Ambalat dan perairan Karang Unarang, Laut Sulawesi, Utara Kaltim yang tidak jauh dari Pulau Sipadan dan Ligitan.

Melihat pidato itu, maka pandangan pemerintah tidak berubah dalam menangani kawasan perbatasan yang lebih menonjolkan pada "security approach" (pendekatan keamanan) ketimbang "prosperity approach" (pendekatan kesejahteraan), karena dalam implikasinya tidak ada yang berubah.

"Lihat saja, kawasan perbatasan kebanyakan masih tertinggal dalam terbelakang meskipun diakui sebagai beranda negara," kata pengamat wilayah perbatasan Kaltim, Prof. Sarosa Hamongpranoto, SH, M Hum.

Ia menilai bahwa pemerintah harus belajar dari pengalaman, setelah terjadi dua kasus yang "mempermalukan" bangsa Indonesia, yakni peristiwa penting masing-masing lepasnya bekas Provinsi Timor Timur pada 1999 dan menjadi negara merdeka, dan menangnya Malaysia dalam sidang MI di Den Haag pada 2003 terhadap kepemilikan Pulau Ligitan dan Sipadan.

"Jadi persoalan blok Ambalat harusnya menyadarkan kita untuk merubah orientasi dan pendekatan daerah perbatasan. Wilayah darat dan pulau-pulau luar kita menjadi kawasan tidak tersentuh (pembangunan) menyebabkan warganya miskin dan tertinggal, sehingga berbagai tindakan yang merugikan negara sangat mudah terjadi, misalnya "illegal logging", tambang tanpa izin, pencurian ikan, "traficking", penyelundupan dan TKI ilegal," kata guru besar di Fisip Universitas Mulawarman itu.

"Seandainya Bung Hatta masih hidup, mungkin ia akan menangis melihat kondisi wilayah perbatasan yang sangat tertinggal sehingga sebagian warganya seperti belum menikmati arti kemerdekaan," papar Sarosa.

Berdasarkan kajian pihak Universitas Mulawarman, sedikitnya lima desa di kawasan perbatasan Kaltim-Serawak "lenyap" karena warga eksdus ke wilayah negeri tetangga akibat kesulitan mendapatkan bahan kebutuhan pokok yang umumnya didrop menggunakan pesawat terbang perintis dari Samarinda.

"Mereka eksodus ke Malaysia bukan alasan politis namun semata-mata karena alasan perut (ekonomi)," kata Prof. Dr. Henry Patton, peneliti dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda yang sempat melakukan penelitian kehidupan masyarakat di perbatasan.


Solusi perbatasan

Kawasan perbatasan ibarat sebuah jerawat di muka seorang gadis, ia akan diperhatikan serius ketika meradang dan bengkak, namun segera terlupakan ketika sudah membaik.

"Silih berganti kepala negara, silih berganti kebijakan dan tebar janji manis mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, khususnya saat terjadi masalah. Akan tetapi saat persoalan perbatasan mereda, segera terlupakan," kata Prof. Dr. Henry Patton.

Ketika dunia menyoroti tentang tebang liar dan penyelundupan besar-besaran di kawasan perbatasan pada masa Orde Baru, Pemerintahan Presiden Soeharto segera memuat berbagai program pembangunan kawasan perbatasan.

Melalui pengkajian panjang akhirnya lahir wacana "kawasan berikat" (Tarakan-Nunukan-Sebatik) untuk "menandingi" kemajuan pembangunan di Tawao, Sabah, Malaysia Timur.

Namun, kajian yang sudah dianggap sangat "feasible" di Bappenas itu, tidak mendapat "political will"; terbukti sampai kini tidak ada realisasinya.

Pada masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie, lahir ide untuk membuat Badan Otorita yang bertanggung jawab dalam membangun kawasan perbatasan yang memiliki potensi ekonomi besar itu, namun lagi-lagi hanya sampai tingkat wacana.

Saat terjadi peristiwa yang "menampar wajah" Indonesia, yakni terjadinya deportasi besar-besaran pada 2002, akibat ratusan ribu TKI di Malaysia dianggap ilegal, Pemerintahan Presiden Megawati juga berjanji segera membangun sawit skala luas untuk memberikan pekerjaan bagi para TKI. Sampai kini pun program ini tidak ada lagi kabar beritanya.

Pada kasus deportasi besar-besaran itu, terjadi "bencana kemanusiaan" yang ramai disorot media nasional dan asing karena terlantarnya ribuan TKI di Nunukan, tercatat 80 di antaranya meninggal dunia karena terkena penyakit dan kelaparan, mereka "mengungsi" karena takut akan ancaman denda dan cambuk sesuai Akta Migrasi 2002.

Malaysia memberlakukan Akta Migrasi 2002 (Akta A1154) yang disahkan 1 Agustus 2002. Dalam Akta tersebut disebutkan, tenaga kerja asing yang masuk secara ilegal akan didenda 10.000 Ringgit Malaysia atau dipenjara tidak lebih dari lima tahun, atau dikenakan sanksi kedua-duanya dan dikenakan cambuk tidak lebih dari enam kali.


Daerah tak bertuan

Berbagai masalah lain juga terjadi sebagai dampak tertinggalnya kawasan perbatasan, padahal selalu diakui oleh "Jakarta" sebagai beranda negara.

Ada yang mengistilahkan kawasan itu, bukan sebagai beranda negara, namun "daerah tak bertuan". "Lihat saja, sampai kini kasus tebang liar masih meraja-lela, penyelundupan dan pencurian ikan masih marak terjadi," ujar Sarosa Hamongpranoto.

Panjang wilayah perbatasan Kalimantan-Malaysia sekitar 1,8 ribu kilometer. Dari lintasan sepanjang itu, 1,2 ribu kilometer merupakan perbatasan Kaltim dengan Malaysia.

"Wilayah itu lebih panjang dari jalan Anyer-Penarukan --yang "hanya" 1.000 kilometer--, sehingga tidak masuk akal kalau hanya menggunakan security approach, tanpa program jelas untuk pembangunan ekonomi yang berkesinambungan," ujar Sarosa.

Dalam pidato kenegaraan SBY di depan DPD itu, katanya, tidak terlihat program yang jelas, terarah serta mendapat dukungan penuh dari APBN dalam mengembangkan pereknomian dan pembangunan kawasan perbatasan.

"Salah satu solusi yang paling masuk akal dalam mengatasi persoalan peratasan, yakni segera membentuk Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang terpisah dari Kaltim (Kalimantan Timur) untuk mengejar berbagai ketertinggal ekonomi dan pembangunan di kawasan perbatasan. Jadi pendekatanya bukan `security approach` namun `prosperity approach`," imbuh Sarosa.

Kaltara, kata dia, sangat layak segera dibentuk karena memenuhi berbagai aspek baik potensi ekonomi, kependudukan, admistrasi pemerintahan dan terpenting adalah aspek Hankamnas. "Persoalan berat di perbatasan, yakni penjarahan hutan, penambangan tanpa izin, pencurian ikan, penyelundupan, TKI ilegal sampai ancaman kehilangan teritorial jadi masalah klasik yang tidak bisa dituntaskan oleh pemerintah," katanya.

Ia memaparkan bahwa persoalan yang menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah per tahun itu akibat ketertinggalan pembangunan (menyebabkan warganya miskin) serta berbagai keterbatasan baik peralatan pengamanan, kelemahan infrastruktur perhubungan, personil dan dukungan keuangan yang dihadapkan dengan kondisi geografis begitu luas.

Setelah Irian Jaya (Papua) dimekarkan menjadi beberapa provinsi maka Kaltim menjadi provinsi terluas atau sama dengan 1,5 kali Pulau Jawa plus Pulau Madura. "Apabila Kaltara yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan Malaysia Timur itu dijadikan provinsi maka otomatis dibentuk sejumlah instansi, badan dan kantor provinsi, misalnya, Kejati, Korem dan Polda sehingga penanganan berbagai tindakan merugikan negara lebih fokus dan intensif," katanya.

Secara ekonomi, potensi di Kaltara tidak kalah dengan Kaltim karena terdapat tambang batu bara, migas, perhutanan/perkayuan, perkebunan, emas serta potensi perikanan dan kelautan.

Kabupaten/kota yang diajukan sebagai wilayah Kaltara itu, yakni Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Kabupaten Tanah Tidung.

Namun ide pembentukan propinsi baru tampaknya tak akan mulus, karena pemerintah akan makin selektif untuk mengabulkannya.

Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan akan menolak pemekaran daerah yang sama sekali tidak memiliki urgensi.

"Tuntutan pemekaran daerah yang sama sekali tidak memiliki urgensi, tidak memiliki persyaratan dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat di daerah, harus kita tolak dengan tegas."

Kata Presiden, sejak 1999 hingga sekarang telah terbentuk 191 daerah otonom baru, yang terdiri atas 7 propinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota.

Penambahan daerah baru itu dianggap terlalu pesat dan sudah waktunya dievaluasi efektivitas dan efisiensinya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengeluhkan tambahan alokasi anggaran yang harus dipersiapkan untuk pembentukan daerah baru, dari mulai belanja pegawai, belanja barang, maupun belanja modal.

"Setiap ada daerah baru, Depkeu harus membuat kanwil baru, kantor-kantor baru, kemudian alokasi gaji karyawan. Itu baru satu departemen, belum dengan kantor departemen lainnya," kata Sri Mulyani.

Pertanyaanya, apakah pembentukan Provinsi Kalimantan Utara adalah solusi terbaik untuk memecahkan maslah kawasan perbatasan? Masalah ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.mr-antara

Tidak ada komentar: