Jumat, 22 Agustus 2008

Penting Bagi Setiap Muslim Memahami Islam

Penting Bagi Setiap Muslim Memahami Islam

Suara siapakah yang mewakili opini umat Islam sesungguhnya? Pertanyaan besar ini dijawab John L Esposito, pakar studi Islam dan hubungan internasional dari George Town University, Washington DC, AS. Bersama rekannya, Dr Dalia Mogahed, Esposito mengolah hasil survei Gallup World selama enam tahun. Yang ingin mereka tangkap adalah suara mayoritas tersembunyi dari 1,3 miliar Muslim di dunia, yang kerap tenggelam ditimpa kutub-kutub ekstrem. Hasilnya dirangkum dalam buku: Saatnya Muslim Bicara; Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-isu Kontemporer lainnya.

Karena cukup banyak kejutan, Esposito menilai buku itu mestinya bisa membuka pikiran bangsa Barat yang memiliki pandangan stereotip tertentu tentang Islam.Dua pekan lalu, atas undangan Mizan yang menerbitkan buku itu Esposito berkunjung ke Indonesia. Dalam lawatannya yang hanya semalam, Republika berkesempatan mewawancarainya dalam perjalanan pulang menuju Bandara Soekarno-Hatta. Berikut petikannya:

Bagaimana kondisi hubungan Muslim dan Barat saat ini dibanding sesaat setelah tragedi 11 September?
Masih sulit. Anti-Amerika masih kuat. Banyak orang di dunia Islam berpikir, kebijakan AS, termasuk juga Eropa, menentang Islam dan Muslim, bukan hanya terhadap teroris. Sikap orang AS terhadap dunia Islamseperti diungkap survei Gallup--ketika ditanya apa yang dikagumi dari Islam, 77 persen menyatakan tidak ada, atau tidak tahu. Ditanya apa yang paling mengganggu mereka, jawabnya ekstremisme dan fundamentalisme. Jadi, situasinya masih belum bagus.

Yang terus membuatnya buruk adalah kebijakan pemerintahan Presiden Bush, yang menurut saya ini jadi bencana. Setelah tragedi 11 September, pada tahun pertama dan kedua, hubungannya justru lebih baik. Orang Amerika lebih bersikap positif terhadap Islam. Namun, sekarang, dalam tiga sampai empat tahun terakhir cenderung lebih buruk karena kekerasan terus terjadi.

Bagaimana memperbaikinya?
Buku ini meng-counter banyak stereotip tentang Islam dan retorika anti-Muslim yang disebut Islamfobia. Karena, isinya bukan menunjukkan tentang konflik antara Islam dan Barat, antaragama, atau benturan peradaban, namun tentang kebijakan luar negeri, khususnya AS dan Eropa.

Jadi, ini menekankan bahwa agama bukan penyebab utama, meski dalam ekstremisme atau fundamentalisme sekalipun. Namun, bukan berarti agama tidak digunakan orang untuk mendapatkan pendukung dan legitimasi. Buku ini juga menunjukkan mayoritas Muslim menyesalkan sikap Barat terhadap Islam serta standar ganda AS dalam mempromosikan demokrasi. Sebaliknya, mereka juga mengagumi beberapa hal dari AS. Misalnya teknologi, etika kerja, kebebasan, penegakan hukum, dan mereka pun mengharapkan semua itu untuk mereka.

Sebaliknya, pesan kepada Barat, buku ini menceritakan bahwa Muslim tidak membabi buta bersikap anti-Barat. Justru, data menunjukkan dengan jelas bahwa mereka membedakan antara AS dan Inggris, dan negara Muslim lainnya. Bahkan, lebih jauh lagi, membedakan antara Bush dan Blair (mantan PM Inggris, Tony Blair). Jadi, sikap negatif Muslim terutama ditujukan pada kebijakan Presiden Bush dan kebijakan luar negerinya. Ketidaksukaan Muslim sangat fokus pada hal-hal tertentu.

Masyarakat Barat sendiri bagaimana? Mereka juga fokus pada hal-hal tertentu dalam bersikap terhadap Muslim, Islam, dan dunia Islam?
Sebagian komunitas di Barat berpikir, mereka (Muslim) tidak suka Barat karena cemburu pada demokrasi, kesejahteraan, dan keberhasilan Barat--termasuk isu gender. Setelah tragedi 11 September, salah satu area yang kerap disorot adalah wanita Muslim. Padahal, survei kami menunjukkan bahwa Muslimah bahkan ada Muslim yang yakin bahwa wanita pun harus memiliki kesetaraan hak, pendidikan, dan kesempatan kerja. Jadi, ini memutar balik anggapan Barat selama ini. Ada perbedaan yang besar antara posisi wanita Muslim di bawah kepemimpinan Taliban dan Muslimah di belahan lainnya.

Lantas, apakah agama dapat dikatakan sebagai salah satu sumber konflik?
Memang, ada kasus tertentu di mana agama menjadi sumber konflik, namun sering juga menunjukkan bahwa ada ketidakadilan yang berdimensi politis dan ekonomis dalam konflik tersebut. Lalu, agama menjadi cara untuk melegitimasi dimensi itu.

Muslim meyakini Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Namun, mengapa sejumlah konflik dan kekerasan justru melibatkan komunitas Muslim?
Ada beberapa hal. Banyak negara Muslim yang masih memiliki rezim otoriter. Ada gap ekonomi yang lebar antara si miskin dan si kaya. Jadi, ada tingkat kekecewaan yang tinggi. Namun, sebagian besar orang membiarkan semua itu berlangsung dengan alasan: tidak ada pilihan lain, karena pemerintahan memiliki pasukan keamanan dan militer. Ada yang ingin menentang, namun banyak di antara pemerintahan tersebut tidak membolehkan oposisi. Akhirnya, kondisi ini menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat. Kemudian, kemarahan itu juga meletup pada pihak di luar pemerintahan yang mendukung pemerintahan yang represif. Misalnya, warga Iran bereaksi negatif kepada Shah Iran dan pemerintah AS yang dinilai sebagai pendukung utama Shah.

Namun, agama juga bisa 'digunakan' karena ada masalah internal dalam agama itu. Di tempat lain, ada pula teologi ekstrem, pemimpin keagamaan yang ekstrem. Jika terjadi perpaduan imam yang radikal dan teologi yang radikal, ditambah masalah sosial-politik, maka bisa meledak. Ini yang kita lihat di Nigeria, Mesir, Tunisia, Pakistan. Jadi, sepertinya cita-cita yang dicapai adalah hidup damai dan juga sejahtera ini diikuti dengan pergantian rezim, kebebasan yang lebih luas, lebih banyak kesempatan, serta perkembangan ekonomi.

Contohnya, Indonesia adalah negara yang sedang dalam transisi. Namun, bukan berarti tidak ada lagi masalah, karena di lain pihak rakyat memiliki harapan tinggi. Jadi, jika mereka kecewa dengan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, maka kekecewaan yang muncul akan sama halnya seperti [kekecewaan] pada pemerintahan otoriter. Nah, pemerintah Barat yang mendukung pemerintahan tersebut akan dipandang sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Setelah tragedi 11 September, negara manapun, baik negara Muslim maupun Israel, menggunakan terorisme sebagai dalih untuk membungkam oposisi dengan menyebutnya ektremis. Jadi, semua oposisi disebut ekstremis.

Jadi, masalahnya bukan pada nilai-nilai dalam Islam yang menyebabkan konflik itu?
Ya, betul!

Apakah karena mereka tidak memahami nilai Islam?
Ini soal politik dan kekuasaan. Setiap pemimpin tidak ada yang ingin kehilangan kekuasaan. Never! Kalau bisa, sampai maut menjemput, mereka tetap berkuasa. Lihat saja Suriah, Mesir, Libya. Itu juga alasan kelompok keagamaan ekstrem. Mereka menggunakan Islam. Padahal, mereka menginginkan kekuasaan, ingin menguasai pemerintahan. Lihat saja pertentangan di antara pemimpin agama sendiri: mereka bertentangan karena ingin menjadi yang paling penting.

Anda pernah mengatakan agar Muslim mempelajari lebih dalam agama mereka. Mengapa?
Ya, ini tidak hanya untuk Muslim, tapi juga bagi penganut Kristen. Survei kami menunjukkan, Muslim beranggapan bahwa keyakinan agama adalah hal penting. Mereka juga ingin masyarakat menerapkan nilai-nilai syariah. Nah, sekarang, untuk menghindari diri dari eksploitasi oleh pemimpin keagamaan, mereka harus memahami benar tentang Islam. Kalau tidak, mereka akan percaya begitu saja.

Untuk masalah ini, bukan lagi tentang Islam dan dunia Barat, namun masalah di dalam Islam sendiri. Misalnya, mereka terkadang tidak hanya menyebut orang Kristen dan Yahudi sebagai kuffar, namun juga Muslim lainnya. Jadi, amat penting bagi Muslim lebih memahami keyakinannya.Menurut saya, kadang pemerintah dan pemimpin keagamaan ingin menyetir keyakinan ini. Mereka merasa lebih terlatih dan lebih memahami, seperti dokter yang merasa lebih tahu dibanding pasiennya. Padahal, ada ulama yang memang berbakat, namun ada juga yang tidak. Ini juga terjadi di Kristen.

Ulama bukan satu-satunya yang memahami Islam, karena orang biasa pun bisa membaca Alquran dan hadis. Bahkan dalam Islam, fatwa mufti besar sekalipun tidak selalu harus diikuti. Bahkan, saya melihat perkembangan di Indonesia, muncul cendekiawan Muslim yang bukan ulama. Bahkan, banyak juga wanita yang memiliki pandangan lebih baik. Orang kerap berpandangan, karena orang menjadi ulama, maka mereka memiliki wewenang lebih besar. Padahal, Islam saja tidak mengajarkan demikian.mr-republika

Tidak ada komentar: