Senin, 18 Agustus 2008

Malu

Malu

Oleh: Ahmad Tohari

" Kok, menteri yang diduga ikut menerima aliran dana haram dari BI tampangnya cengengesan? Dia bisa tertawa cengar-cengir di depan publik dengan penuh percaya diri? Apakah dia tidak punya rasa malu?" tanya istri saya sengit sambil menyodorkan sebuah koran. Kemarin dulu, istri saya juga bilang, "Kok, Artalyta Suryani yang sudah sukses membokongi jaksa senior bisa tampil menor ketika muncul di pengadilan?" Bahkan, dulu, istri saya bertanya, "Kok putra putri mahkota Orde Baru yang tidak pernah kerja, tapi kekayaannya triliunan malah dipuja-puja masyarakat?"

Pertanyaan seperti itu pasti bukan khas istri saya. Siapa pun yang masih percaya pada nalar sehat akan melakukan hal yang sama. Namun, rasanya tidak mudah mendapat jawaban yang pas. Mungkin, benar dugaan istri saya bahwa koruptor yang cengengesan dan tampil necis-alim-cantik di depan publik, bahkan di pengadilan, itu memang sudah tidak punya rasa malu. Kalau ini benar, menyusul pertanyaan lanjut, mengapa mereka tidak malu melakukan tindak kriminal yang jelas merugikan masyarakat?

Rasa malu, menurut para agamawan, merupakan refleksi dan artikulasi hati yang beriman. "Bila engkau tidak punya rasa malu, berbuatlah sekehendakmu." Itu sabda Kanjeng Nabi. Artinya, rasa malu membatasi orang agar tidak berbuat sekehendak hati. Karena, malu diharapkan siapa saja bisa membatasi diri pada perbuatan-perbuatan baik semata dan menghindari yang sebaliknya. Kalau begitu, para koruptor adalah manusia-mnusia yang tidak beriman?

Nanti dulu. Al Amin Nasution misalnya. Bila ditanya, pasti akan menjawab hidupnya berpegang kepada iman Islam. Urip Tri Gunawan tiap minggu ke gereja. Artalyta mengaku beragama Budha. Ketika disumpah sebagai saksi, Sudradjat Djiwandono meletakkan tangan kanannya di atas Injil. Jadi, mereka pasti mengaku sebagai orang-orang beriman. Bahkan, ada plusnya. Mereka terdidik sangat baik sehingga, secara intelektual, mereka pasti mengerti dengan jelas batas antara kebaikan dan keburukan. Maka, mengapa mereka tidak malu?

Untuk pertanyaan ini, mungkin ada dua jawaban. Pertama, mereka mengalami pecah kepribadian, split personality. Mereka bisa khusuk ketika berada di rumah ibadah, tapi pindah jadi penyembah materi. Mereka amat saleh ketika berdekatan dengan kitab suci, tapi jadi sangat tamak ketika berdekatan dengan uang dan perempuan. Ketamakan inilah yang rupanya telah mengalahkan rasa malu yang secara potensial hadir dalam iman mereka.

Kedua, dan inilah yang mungkin amat menyedihkan, mereka menganggap perbuatan mereka adalah hal biasa. Jadi, mengapa harus malu? Biasa, karena pemanfaatan jabatan atau kekuasaan sebagai alat mencari tambahan kenikmatan hidup, korupsi sudah dilakukan hampir secara umum di semua sektor kekuasaan. Mungkin, Jaksa Urip Tri Gunawan malu minta suap kepada Artalyta atau Glenn Yusuf bila di seluruh birokrasi kejaksaan, dialah satu-satunya orang yang berbuat demikian. Al Amin Nasution mungkin juga malu memeras Azirwan bila gedung DPR RI hanya berisi orang-orang yang sepenuhnya beriman, kecuali si Amin itu.

Nyatanya, Urip dan Amin sama sekali bukan orang khas. Jumlah koruptor ukuran jumbo ataupun mini amat banyak dan tersebar di semua sektor kehidupan. Maka, korupsi telah menjadi hal biasa, umum, jamak, membudaya. Dengan demikian, apakah melakukan korupsi harus malu? Atau, bila suap, sogok, gratifikasi, menggunakan kekuasaan sebagai sumber penghasilan memang termasuk korupsi, semua itu telah berakar kuat dalam tradisi budaya Nusantara.

Dulu, para bangsawan merasa berhak mendapat upeti. Para patih, adipati, dan panewu (hulubalang) mendapat palungguh, yakni hak mendapat penghasilan dari statusnya sebagai alat kekuasaan kerajaan. Dulu, orang merasa bangga menerima upeti karena itu merupakan penegasan atas statusnya sebagai elite penguasa.

Dan, sekarang, apakah Urip dan Amin bangga bisa menerima gratifikasi karena status mereka sebagai pemegang kekuasaan kejaksaan dan legislator? Mungkin, mereka dan puluhan ribu orang seperti mereka tidak bangga, tapi tidak juga malu. Maka, mereka perlu diberi pelajaran tambahan. Borgol yang besar dan seragam khusus untuk tertuduh koruptor yang dikenakan kepada mereka saat ditampilkan di depan umum memang bisa dicobakan.mr-resonansirepublika

Tidak ada komentar: