Jumat, 22 Agustus 2008

Pemilu Artis dan Nepotisme

Pemilu Artis dan Nepotisme

Jika kita tak puas dengan kualitas politisi kita setelah 10 tahun reformasi, kekecewaan itu bisa jadi akan berlanjut hingga lima tahun ke depan, pascapemilu 2009. Daftar caleg kita banyak diisi oleh artis dan anak-anak serta kerabat politisi senior. Ada ayah dan anak masuk daftar caleg; ada ayah yang memasukkan anaknya; ada suami yang memasukkan istrinya; dan tentu saja ada ayah yang memilih pensiun, namun memasukkan anaknya. Ini ironi. Gerakan reformasi 1998 salah satunya adalah membongkar nepotisme Soeharto, namun kini kita melanggengkannya.

Setiap parpol berusaha memperbaiki diri dengan cara merekrut orang-orang berkualitas nonpartai untuk menjadi caleg. Tanpa harus antre. Ini upaya bagus. Toh, ini juga sekaligus menandakan kaderisasi tak berlangsung baik. Mereka diharapkan dapat mendongkrak kualitas partai bersangkutan di parlemen. Namun, jangan kaget jika suara mereka kemudian didukung oleh orang-orang tak berkualitas. Mereka bisa lolos hanya karena mereka popularitas profesi artis atau disokong politisi 'darah biru'. Kita bukan antiartis untuk menjadi caleg. Namun, melihat kecenderungannya, masuknya artis menjadi caleg bukan karena suatu yang bermakna dalam. Ini lebih cara instan dan gampangan dari partai untuk meraih suara. Menyedihkan.

Sedangkan, masuknya anak dan istri untuk menjadi caleg benar-benar sesuatu yang harus dilawan. Ini bertentangan dengan moralitas apa pun. Dia memang punya hak, namun tak etis. Apalagi, jika kemudian anak dan istri itu belum memiliki jam terbang yang cukup. Ia dipaksakan. Tak ada proses yang panjang. Orang mungkin mencibir langkah Gus Dur dan Megawati yang menenteng Yenny Wahid dan Puan Maharani untuk duduk di kepengurusan partai, sama seperti Soeharto dulu menenteng Siti Hardiyanti Rukmana. Namun, ternyata itu jauh lebih baik. Ada proses magang, walau ada keistimewaan tanpa melalui proses yang panjang dan dari bawah. Karena, kini sejumlah anak dari politisi yang masuk caleg justru tanpa proses magang sama sekali. Langsung saja masuk daftar caleg. Sangat memprihatinkan.

Dana pemilu hingga hampir Rp 25 triliun dihabiskan hanya untuk meloloskan 'politisi' semacam itu. Jika para 'tokoh' kita maunya seperti itu, untuk apa kita mengadakan pemilu yang rumit seperti saat ini. Sudah, tunjuk saja langsung anak-anak dan kerabatnya duduk di parlemen. Lalu, lengkapi dengan sejumlah artis. Dan, agar parlemen berkualitas, pilih sejumlah orang hebat untuk 'membimbing' mereka semua. Persis seperti yang dilakukan Soeharto melalui 'pemilu-pemiluan'. Kita tak perlu membuat anggaran pemilu yang sangat mahal. Tak perlu membangun sistem kepartaian yang rumit. Biayanya bisa kita hemat dan kita gunakan untuk pembangunan.

Apakah ini yang disebut harga dari sebuah demokrasi? Rasanya tidak. Demokrasi mensyaratkan tata nilai tertentu dan kualitas personal para politisinya. Di negara manapun, ada artis yang masuk parlemen, namun jumlahnya tak sebanyak Indonesia. Di negara manapun, ada anak dan istri yang masuk parlemen, namun jumlahnya tak sebanyak Indonesia. Semuanya diuji melalui saluran moralitas dan prosedur politik selayaknya. Bukan didrop secara begitu saja seperti maunya ketua partai.

Kita tidak tahu wajah Indonesia seperti apa dalam lima tahun ke depan. Gelap. Kita juga menjadi tak yakin bahwa pemilu adalah gerbang harapan. Kita justru cemas. Tapi, kita percaya bahwa rakyat pasti punya jawaban untuk dagelan yang sedang dipertontonkan para 'tokoh' Indonesia saat ini.mr-tajukrepublika

Tidak ada komentar: