Rabu, 20 Agustus 2008

Keharusan Regenerasi Kepemimpinan

Keharusan Regenerasi Kepemimpinan

Sapto Waluyo
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform


Tanpa terasa usia Republik Indonesia telah mencapai 63 tahun. Saat mengikuti upacara bendera atau menyaksikan pesta rakyat di kampung-kampung, kita merasakan denyut perubahan berdetak keras.

Generasi baru bergerak cepat, berkompetisi sengit untuk mencetak prestasi. Sementara itu, generasi tua berteriak memberi semangat agar anak cucunya menjadi bintang di tengah arena. Ironisnya, suasana guyub tak terasa dalam kancah politik nasional. Menjelang pemilihan umum 2009, kondisi politik semakin memanas, bahkan kembali tercipta berbagai faksi yang saling berhadapan.

Lewat iklan masif di media massa atau pernyataan publik para elite terbentang pembelahan generasi: tua versus muda. Generasi tua mengklaim hendak menjaga keutuhan negara dan mewariskan nilai-nilai yang menjadi fondasi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Generasi muda mendakwa zaman telah berubah, karena itu kemerdekaan dan kedaulatan perlu didefinisikan dalam konteks kemajuan budaya dan kemandirian ekonomi.

Inilah momen krusial bagi republik kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa. Generasi perintis kemerdekaan 1945 mayoritas telah pergi meninggalkan jejak bersejarah, hanya beberapa gelintir yang tersisa dengan berbagai nostalgia.
Generasi 1966 di masa peralihan masih tetap bertahan walau sesungguhnya telah melampaui masa puncaknya. Generasi baru buah reformasi 1998 sudah tak sabar menanti giliran, tetapi terbentur kenyataan macetnya jalur regenerasi normal.

Aroma nepotisme sangat menyengat hingga membuat pengap sirkulasi kepemimpinan nasional. Sekadar menyebut beberapa contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mempersiapkan salah seorang putranya (Edi Baskoro) memegang tampuk kepemimpinan di Partai Demokrat, mantan Presiden Megawati malah menggembleng putrinya (Puan Maharani) dalam waktu cukup lama, sementara Yenny Wahid binti Abdurrahman Wahid otomatis mewarisi tampuk kepemimpinan PKB meski dengan beragam tantangan. Hanya Wakil Presiden Jusuf Kalla yang kita dengar menolak pencalonan anaknya sebagai anggota legislatif, entah dengan alasan apa.

Rakyat jadi memahami, selama "generasi penerus" keluarga para petinggi itu belum matang dan siap menduduki kursi kepemimpinan maka tabu untuk bicara regenerasi. Masalah estafet kepemimpinan nasional dipersepsikan sebagai urusan keluarga kelompok tertentu.

Bisakah Anda bayangkan, suatu hari tokoh muda, semisal Anas Urbaningrum tampil sebagai Ketua Umum Partai Demokrat atau Budiman Sujatmiko menjadi petinggi PDI Perjuangan? Suatu hal yang nyaris mustahil! Kecuali, terjadi pergolakan besar, seperti dialami Muhaimin Iskandar yang berani menantang Yenni Wahid.

Dalam konteks serupa, jalan yang ditempuh Indra J Piliang masuk ke kandang beringin akan sama terjalnya dengan pengalaman Yuddy Chrisnandi untuk sampai ke pucuk pimpinan Golkar. Aneh sekali, pergantian kepemimpinan termasuk perkara yang musykil diperdebatkan, sampai dalam skala partai.

Padahal, proses regenerasi merupakan keharusan dari sudut politik dan keniscayaan dari sudut hukum alam. Tidak ada satu pun bangsa yang bisa mengelak dari regenerasi. Tidak mungkin masyarakat Amerika Serikat yang mayoritas masih memeluk keyakinan WASP (White, Anglo-Saxon and Protestan) menolak kemunculan Barack Obama, betapapun kontroversialnya. Tak bisa pula rakyat Rusia menghindari tampilnya Dmitry Medvedev.

Bila Obama tampil lewat pemilu yang demokratis, maka Medvedev muncul karena dukungan seniornya, Vladimir Putin, yang membuka jalan sebagai presiden. Metode apa pun yang diterapkan suatu bangsa, regenerasi selalu menjadi perhatian utama agar mereka tetap eksis menghadapi persaingan lintas negara.

Bagi kita rakyat bebas, yang tidak tersangkut dinasti kuasa mana pun, regenerasi dipahami bukan menyangkut figur siapa yang akan tampil, bukan pula terkait dengan partai atau kelompok mana yang mendukungnya. Akan tetapi, regenerasi sangat erat kaitannya dengan masa depan bangsa.

Seperti kata pepatah, karakter suatu kaum (bangsa) sangat ditentukan karakter pemimpinnya. Kita ingin menjadi bangsa yang seperti apa?
Berdasarkan jawaban atas pertanyaan itu, kita harus menentukan sosok kepemimpinan yang cocok untuk mewujudkannya. Jangan sampai kita memiliki cita-cita nasional yang luhur, tetapi salah memilih pemimpin yang bobrok sebab hanya memikirkan kepentingan pribadi yang sempit.

Secara fundamental, kita telah memiliki konsensus nasional tentang tujuan bernegara, seperti tercantum dalam Pembukaan UUD. Lebih jelas lagi, hal itu dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (2005-2025) yang tercatat dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2007. Kalangan pengusaha dan akademisi punya versi lain tentang visi Indonesia 2030.

Sayang sekali dalam UU tak disebut prasyarat kepemimpinan nasional yang diperlukan demi terwujudnya cita-cita pembangunan nasional. Namun, semua rakyat tentu tahu kemajuan negara-negara di belahan dunia mana pun selalu diawali dengan pembaruan elite kepemimpinannya.

Indonesia bukan pulau terasing yang steril dari pengaruh global. Kita pernah mengalami dampak buruk akibat menunda proses suksesi nasional. Pada 1993 para tokoh pembaharu dipelopori Amien Rais telah mendengungkan perlunya suksesi nasional. Tapi, Presiden Soeharto yang berkuasa saat itu menolaknya mentah-mentah karena telah mempersiapkan suksesi ala keluarga Cendana.

Para pembantu dekat Soeharto, antara lain Harmoko, yang memimpin Golkar waktu itu, menutup jalan rapat-rapat bagi tokoh alternatif. Sementara BJ Habibie yang mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden pada akhir masa kekuasaannya dipandang belum cukup matang. Penundaan proses suksesi itu akhirnya berujung pada krisis nasional 1997 dan mengobarkan huru-hara Mei 1998. Aspirasi rakyat yang tersumbat dan beribu persoalan yang ditimbun di bawah karpet, akhirnya meledak dan membakar negeri ini.

Kini pilihan sejarah ada di tangan kita. Apakah regenerasi akan kita jalankan dengan penuh kesadaran ataukah kita biarkan segalanya berlangsung liar tanpa arah jelas? Perencanaan matang mensyaratkan generasi tua tahu saat yang tepat untuk berhenti berambisi sebagaimana mereka tahu kapan saatnya memulai perubahan di masa lalu. Persyaratan serupa juga harus dimiliki generasi muda yang tak hanya pandai beriklan atau berpidato gombal tanpa keseriusan membangun kompetensi diri dan merangkul dukungan publik yang otentik lintas kelompok.

Mengapa menghabiskan energi untuk berdebat kusir di layar kaca dan halaman koran, sementara tradisi untuk berembuk bersama kita abaikan? Suatu kelompok yang secara sadar mempersiapkan lahirnya kepemimpinan baru sama pentingnya dengan sosok pemimpin yang akhirnya tampil ke panggung sejarah.mr-opinirepublika.
Ikhtisar:
- Nepotisme masih sangat kental sehingga menyulitkan perubahan kepemimpinan nasional.
- Proses regenerasi menjadi keharusan dalam kancah politik, tetapi memerlukan syarat yang tidak ringan.

Tidak ada komentar: