Rabu, 27 Agustus 2008

Bohong


Bohong

Pekan-pekan ini, kita disuguhi berita-berita tentang penyelewengan perilaku para pejabat publik. Sangat banyak. Sampai-sampai kita mual karena setiap hari kasus korupsi menjadi berita utama yang harus kita santap.

Sebagian kasus sudah masuk ke arena persidangan. Lucunya, para pejabat itu berbantah-bantahan di pengadilan, menyatakan diri paling benar dalam memberikan kesaksian. Kita, misalnya, tak habis pikir dengan dua versi keterangan tentang kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR. Saksi dan terdakwa menyatakan bahwa Ketua BPK, Anwar Nasution, memerintahkan pemusnahan dokumen. Ketua BPK membantah keras di persidangan. Bahkan, dalam wawancara di televisi, ia menyebut saksi dan terdakwa itu dengan nama binatang.

Tentu, ada yang berbohong di antara mereka. Padahal, kedua belah pihak memberikan keterangan di bawah sumpah. Kalau berbohong di persidangan, mereka bisa mendapatkan ganjaran penjara hingga tujuh tahun. Cuma ancaman? Bisa jadi. Karena, hakim tak berusaha mencari kebenaran di antara kedua kubu kesaksian itu.

Peristiwa saling berbantahan terjadi pula dalam persidangan terdakwa mantan gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Saksi Anthony Z Abidin mengaku membagikan dana BI atas perintah saksi lainnya, Hamka Yandhu. Hamka sebaliknya mengatakan perintah datang dari Anthony. Sampai akhir sidang di hari itu, tak terungkap siapa yang berbohong. Padahal, keduanya juga bersaksi di bawah sumpah.

Berbohong adalah akar dari berbagai kebejatan di negeri ini. Sekali orang berbohong, maka ia akan menumpuk kebohongan-kebohongan lain untuk mempertahankan kebohongan pertama. Sayangnya, dalam proses hukum di negeri ini, termasuk dalam kasus-kasus korupsi, amat jarang kebohongan di persidangan yang benar-benar mendapatkan ganjaran.

Situasi inilah yang juga memupuk keberanian Artalyta dan Urip Tri Gunawan untuk menyusun skenario keterangan di depan persidangan. Artalyta tak segan-segan mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) dan menyuruh Urip untuk memberikan keterangan sesuai skenario yang ia buat. Persidangan menjadi lucu karena dalih pemberian uang kepada Urip bisa berubah-ubah, antara lain, dari jual beli permata menjadi usaha perbengkelan. Pencabutan BAP pula yang terjadi saat mantan deputi gubernur BI, Aulia Pohan, bersaksi tentang peranan Paskah Suzetta dalam kasus aliran dana BI.

Tanpa sanksi tegas kepada para pelakunya, kebohongan akan tetap subur di pengadilan. Sementara itu, kita terus berhadapan dengan kasus-kasus hukum yang penuh perbantahan. Pengakuan Agus Condro soal aliran dana terkait pemilihan deputi gubernur BI, misalnya, akan buntu kalau masalah kebohongan tidak dituntaskan.

Kebohongan bisa muncul dengan alasan adanya kepentingan lebih besar yang harus dilindungi. Kepentingan politik, salah satu di antaranya. Tapi, jika situasi ini dibiarkan, kita takkan pernah dapat membersihkan negara ini dari para penjahat--termasuk koruptor. Dan, situasi ini akan mengokohkan pendapat bahwa politik dan kejujuran adalah oksimoron, dua hal yang berlawanan.mr-tajukrepublika

Tidak ada komentar: