Kamis, 14 Agustus 2008

Orang Bermartabat Ahmad Tohari


Orang Bermartabat Ahmad Tohari

Ini kisah nyata mengenai orang dari jenis yang langka. Adalah seorang teman dan demi menjaga martabatnya sebut saja Fulan. Dia menjadi salah seorang ketua sebuah organisasi massa yang konon punya anggota puluhan juta. Pengurus pusat organisasi itu punya kebiasaan mendapat jatah keanggotaan DPR dari sebuah parpol. Dan, menghadapi Pemilu 2009, jatah itu jatuh ke pangkuan Fulan.

Partai itu memang tidak salah memilih Fulan. Sebab, kesetiaannya kepada organisasi itu sudah teruji. Namanya cukup dikenal, hidupnya jujur, dan sederhana. Fulan berlatar pendidikan baik, sekolahnya sampai ke luar negeri, koleksi kitabnya bertakar lemari. Namun, bertolak belakang dengan watak kebanyakan orang, Fulan menolak jadi anggota DPR RI. Saya tahu sikapnya yang demikian justru karena dia menawarkan peluang itu kepada saya.

"Ini nomor jadi. Kamu ambil saja. Mau?" kata Fulan.
"Kok saya. Itu kan jatah kamu, bukan?" jawab saya.
"Ya, tapi kalau kamu yang menggantikan saya, mungkin mereka bisa menerima."
"Saya tidak akan sudi mengambil jatah kamu, meskipun kamu sendiri yang memberikan kepada saya.Nah, kamu sendiri bagaimana?" kejar saya. "Mengapa kamu menolak?"
"Yah, kalau saya menerima tawaran itu, lalu apa beda saya dengan mereka?"

Saya diam untuk mencerna ucapannya. Apa maksudnya? Oh, saya mulai paham. Agaknya, dia tidak ingin disamakan dengan kebanyakan pengurus organisasi itu serta para pemimpin agama yang nyata betul berahi politiknya. Demikian besar nafsu kekuasaan mereka, sehingga organisasi dan umat dinomorsekiankan. Mereka agaknya berpendirian bahwa menjadi pengurus organisasi massa atau menjadi pemimpin umat adalah jalan tol untuk meraih kekuasaan yang ujung-ujungnya adalah uang.

Bila ini yang dimaksud Fulan, saya setuju penuh. Sebab, seorang pemimpin (organisasi) agama yang sejati seharusnya tidak membutuhkan kekuasaan dan kekuasaan politik. Yang seharusnya muncul dari seorang pemimpin organisasi keagamaan adalah kekuatan moral dan kesalehan sebagai bukti keikhlasannya menjadi imam bagi umatnya. "Lho, bagaimana?" tiba-tiba Fulan mendesakkan lagi kehendaknya agar saya menggantikan dia. "Tidak, terima kasih. Kalau kamu tidak sudi dipersamakan dengan kebanyakan pemimpin di organisasimu, saya juga tidak mau dipersamakan dengan anggota DPR yang sekarang."

"Tunggu. Saya memang tahu banyak anggota DPR sinting yang tidak hanya rakus kekuasaan, tapi juga uang dan tubuh perempuan. Namun, tidak semuanya, bukan? Nah, orang-orang seperti kamu mungkin bisa ikut mengubah keadaan. Jadi, masuklah."
"Sekali lagi tidak, terima kasih," jawab saya. "Kamu juga tahu, DPR hanya tinggal nama. Citranya sudah hancur karena terlalu banyak anggotanya yang sinting. Jadi, kamu jangan suruh saya masuk ke sana, ke kandang yang sudah rusak dan banyak penghuninya kena penyakit kusta."
"Maksud kamu, rakus harta?"

Pertanyaan itu tidak saya jawab. Kami diam. Entah Fulan, namun saya masih berpikir tentang lembaga DPR. Mengapa lembaga penting itu bisa terisi orang-orang yang amat pragmatis? Alih-alih membela kepentingan rakyat seperti nama yang disandang, banyak anggota DPR malah jadi pembela kepentingan perampok BI, pembabat hutan, penguras bumi dan lautan; pokoknya para kapitalis hitam yang amat merugikan rakyat dan negara? Dan, itu semua mereka lakukan hanya demi uang dan tubuh perempuan? Oh, pantas, demikian rusak citra DPR sehingga orang bermartabat sejati seperti Fulan menolak dan tidak sudi menjadi anggotanya.

Fulan pergi dengan mobil tuanya. Saya tahu dia akan pulang ke rumahnya yang sederhana. Meskipun demikian, rumah itu berikut tanahnya telah dijaminkan untuk memperoleh pinjaman dari bank. Dan, pinjaman itu seluruhnya digunakan untuk membantu 37 petani miskin. Fulan memberdayakan para petani di kampungnya untuk meninggalkan pertanian subsisten yang membuat mereka terus melarat menjadi petani produktif yang memberi harapan. Dia telah membuktikan dirinya berbeda. Dia sejati, setia, dan bermartabat. Maka, alangkah ideal bila orang sesetia Fulan bisa betah di DPR. Sayangnya, untuk mencapai kondisi seperti itu, mungkin hanya bisa tercapai melalui sebuah revolusi mental habis-habisan yang kecil kemungkinannya akan terjadi.mr-resonansirepublika

Tidak ada komentar: