Minggu, 24 Agustus 2008

Pesan Damai dari Agama

Pesan Damai dari Agama
APAKAH sebenarnya peran agama di dunia ini? Apa pula kontribusi positif bagi kemanusiaan? Tampaknya pertanyaan semacam itu dalam filsafat agama belum terjawab secara tuntas. Karena kenyataannya secara operasional, manusia sebagai pemeluk agama justru terjatuh pada jargon-jargon luaran yang diidentifikasi sebagai agama, sekaligus merebutkan perlambang kebenaran agama ini. Agama kemudian menjadi hal-hal yang harus dibenarkan secara simbolis dan menjatuhkannya ke dalam pergumulan dengan tindakan-tindakan frontalnya. Tak pelak, orang justru ngeri ketika berbicara makna agama dan menghindari debat tentang kebenaran agama. Pertanyaannya kemudian adalah ke manakah agama yang dulu merupakan tempat berteduh terakhir bagi kenestapaan manusia dan tempat menyandarkan kerinduan pada perdamaian ini?

Tidak dapat dimungkiri, salah satu fungsi agama adalah sistem atur nilai dalam kehidupan manusia, yang di dalamnya berisi aturan tindakan dan sikap, baik berhubungan dengan persoalan kemanusiaan (horizontal) maupun tindak dalam kepercayaan kepada penciptanya (vertikal). Dalam Islam sistem atur nilai itu kemudian diformulasikan dalam bentuk formalnya yang terpatri dalam berbagai kitab fikih dengan beragam alirannya. Indonesia, secara umum menganut pada empat aliran fikih utama; Syafii, Hambali, Maliki, dan Hanafi. Tiap fikih itu mempunyai karakter berbeda dalam memformulasikan hukum Islam ke dalam ranah operasional. Imam Syafii akan lebih moderat daripada Imam Hambali, ataupun Imam Maliki yang secara nyata lebih rasional daripada Imam Hanafi. Perbedaan formulasi itu terkait erat dengan keilmuan dan latar sosial tempat para imam mazhab tersebut hidup dan memformulasikan fikih mereka. Namun pertanyaannya kemudian, kenapa selama ini fikih masih dicitrakan sebagai seperangkat aturan normatif yang rigid? Mengapa perbedaan fikih dari para imam madzab itu tidak cukup sebagai contoh bagaimana normativitas hukum Islam dapat beralih, berkembang, juga berubah sesuai dengan berbagai bentuk masyarakat yang ada. Pun Imam Syafii pernah mengodifikasi dua kitab fikihnya; qaul kadim dan qaul jadid sebagai bentuk penyesuaian tempat dan keadaan yang berlainan.

Di dalam diskursus fikih, dikenal sebuah kaidah, taqhayuru al-ahkam bi taqhayiri al-azlam (hukum itu berubah sesuai dengan perubahan zamannya). Sebaliknya, akan menghasilkan kekakuan pandang bagi pemeluknya bila menganggap bahwa normativitas Islam adalah aturan mati yang harus terpatri seperti apa adanya ketika ajaran ini hadir di masyarakat masa lampau. Hal itu sama dengan menghakimi 'haram' terhadap perkembangan pemikiran kemanusiaan. Bukankah fenomena kemanusiaan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kedewasaan pemikiran mereka? Menghadirkan agama sebagai seperangkat kekakuan normatif akan menghilangkan peran konstruktifnya bagi kemanusiaan. Jika demikian adanya, tidak ada jaminan agama akan sanggup bertahan lama. Agama lambat laun akan ditinggalkan pemeluknya. Itu karena manusia masa depan akan beralih pada nilai-nilai universal lain, yang lebih bisa dijadikan rujukan.

Persoalan besar umat Islam saat ini adalah mengembalikan agama Islam ke seperangkat aturan normatif universalnya, yang mampu mengukuhkan umatnya dalam membina dan menyejahterakan umat manusia dan lingkungan yang ditempatinya. Umat Islam harus mampu mengembalikan agama Islam pada spirit awal penurunannya, yakni sebagai counter terhadap kebobrokan kemanusiaan dan kerusakan yang ditimbulkannya. Ajaran etis Islam dalam hal ini bukanlah 'menghakimi' kekeliruan yang ada, melainkan melakukan konsolidasi ke dalam, dan melakukan persuasi penyadaran secara simultan kepada semua pihak. Itulah yang dapat dicontoh langsung dari seorang manusia pilihan, Muhammad SAW, dengan lebih memilih menerima hinaan dari penduduk Mekah daripada membalas kebodohan dan ketidaktahuan mereka.



Etika damai

Semua agama tentunya mempunyai kepedulian terhadap aspirasi atau keinginan pemeluknya. Agama adalah cawan harapan dan tujuan yang dicita-citakan setiap manusia. Dalam beragama, penganut agama punya rasa keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi nanti (kejadian alam, kecelakaan, kematian, dan lain-lain), mereka juga punya keinginan untuk mengekspresikan hubungannya dengan Tuhan (ibadah dan kegiatan ritual keagamaan lainnya), dan pada akhirnya mereka semua menginginkan reward atau tujuan yang akan dicapai setelah melakukan semua aturan dan norma yang ada (surga ataupun neraka).

Aturan dan norma-norma yang ada dalam agama itu akan berhasil jika semua pengikutnya menjalankannya. Untuk itu, agama memerlukan satu etika (ethos) yang kemudian bisa menumbuhkan kesadaran bagi pengikut agama guna menaati semua aturan yang ada. Etika dalam agama juga berfungsi sebagai rasionalisasi suatu agama kepada penganutnya. Pula, etika memberikan legitimasi bagi peraturan agama sehingga dapat dijalankan penganutnya. Max Weber berpendapat bahwa etika agama mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, penganut agama akan merasa berdosa jika tidak mengerjakan aturan dalam suatu agama (konsep kewajiban).

Etika sendiri secara luas bermakna mencabang, tetapi tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, yakni pertama etika yang bermakna keharusan beragama yang menitikberatkan pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban beragama. Konsep ini dalam filsafat etika dikenal dengan konsep etika deontologi. Etika deontologi dalam beragama ini tidak bisa berjalan dan akan timpang tanpa etika keduanya, yakni etika teleologis. Etika teleologis dalam beragama adalah memperoleh kebaikan, mengamalkan kebaikan sebagai wujud dan tujuan dari seorang pemeluk agama melaksanakan kewajibannya kepada Tuhannya. Itulah yang dikatakan dalam Islam mengapa, "Salat mampu mencegah dari berlaku keji dan mungkar." Karena tujuan salat dalam Islam tidak sekadar taat kepada agama (saleh personal), tetapi tujuan di baliknya adalah tumbuhnya kesadaran bertindak baik kepada sesama (saleh sosial). Dua etika ini berujung pada satu muara, yakni bertindak baik terhadap sesama adalah cerminan dari ketaatan formal (menjalankan kewajiban) dalam beragama.

Menjalankan kedua etika agama itulah yang dapat menghantarkan setiap pemeluknya untuk mendapatkan perolehan tertinggi sebagai hasil penghambaan mereka, yakni keselamatan setelah di dunia ini. Daya tawar itu hanya bisa diperoleh dalam agama dan menjadikan agama sebagai satu-satunya pilihan di tengah berbagai ideologi dan pilihan jalan hidup yang an sich berbicara tentang ke dunia saja. Agamalah satu-satunya pilihan yang mempunyai aturan dan sistem yang compatible (cocok) dengan karakter manusia. Agama sebagai sistem sosial mengakomodasi semua level kebutuhan manusia yang meliputi dimensi empiris, rasional, dan intuitif manusia. mr-mediaindonesia.
Oleh Mustathok, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: