Minggu, 24 Agustus 2008

Caleg Muda Jangan Cengeng!

Caleg Muda Jangan Cengeng!
PENYERAHAN daftar sementara calon legislatif oleh partai-partai politik selesai sudah. Ketegangan para kader partaipun mulai mereda. Kini mereka menunggu hasil verifikasi KPU dan berharap tidak ada masalah administrasi maupun gugatan dari masyarakat yang bakal menggagalkan pencalonan mereka.

Dari semangat partai-partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 ada benang merah memunculkan sebanyak-banyaknya muka baru dari kalangan generasi muda. PDIP mengumumkan 50% calegnya adalah anak-anak muda. Termuda berusia 21 tahun. Partai Golkar mengumumkan 60%. PKS lebih banyak lagi. Partai yang tengah naik daun ini mengumumkan kader muda yang masuk calegnya 80%.

Pertanyaannya, sejauh mana peluang para anak muda ini dapat merebut tiket ke Senayan. Peluang anak-anak muda ini di PKS jelas berbeda anak-anak muda di PDIP maupun di Partai Golkar. Di PKS muka-muka baru tentu sulit bersaing dengan kader senior yang lebih dahulu aktif di partai. Karena PKS dalam penentuan calon legislatifnya konsisten mengikuti UU Pemilu, yakni memakai sistem nomor urut. Sementara di Partai Golkar semua kader memiliki peluang yang sama karena Partai Golkar telah mengumumkan menerapkan sistem perolehan suara terbanyak.

Artinya, siapapun yang berhasil mendulang suara terbanyak di daerah pemilihannya, apakah dia kader baru kemarin sore yang bergabung di partai atau kader yang sudah jenggotan dan puluhan tahun malang melintang di partai, dialah yang berhak mendapat tiket di Senayan.

Di PDIP lain lagi. Partai ini menerapkan sistem kombinasi keduanya. Yakni sistem nomor urut dan suara terbanyak. Artinya, partai ini masih memberikan privilise kepada kader-kader yang memang telah lama mengabdi pada partai dengan sistem nomor urut. Namun juga memberikan peluang bagi kader-kader muda pendatang baru untuk membuktikan kepiawaiannya memikat hati rakyat. Apabila perolehannya dapat melampaui 15% bilangan pembagi di daerah pemilihannya maka dialah yang terpilih.

Bagaimana dengan Partai Demokrat yang menjadi andalan Presiden Susilo Bambang Yudoyono? Sebagai ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, akhirnya SBY pun memutuskan menerapkan sistem susra terbanyak. Hal itu diputuskan karena SBY tidak ingin perolehan suara Partai Demokrat tergerus dengan semangat pertarungan bebas di Partai Golkar maupun PAN. SBY mengaku capai digoyang terus menerus di Senayan karena kursi Partai Demokrat terbatas, Ia ingin kursi Partai Demokrat bertambah secara signifikan. Minimal 80 kursi katanya.

Khusus bagi kader muda Partai Golkar, kebijakan menerapkan sistem perolehan suara terbanyak, merupakan jalan emas yang tidak boleh disia-siakan. Pilihan sistem perolehan suara terbanyak yang di gagas Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar Surya Paloh dan Ketua Umum Jusuf Kalla, tidak saja adil namun akan memberi motivasi yang cukup kuat pada masing-masing kader untuk berkompetisi secara sehat dalam merebut hari rakyat pemilih. Dan inilah sebetulnya arti demokrasi yang sebenarnya. Inilah momentum pembuktian partai mana sebenarnya yang memiliki kader-kader mulitan yang dipilih rakyat.

Sehingga k edepan tidak ada lagi kader-kader jenggot yang menggantung di elite partai. Namun kader-kader yang memiliki akar rumput. Yang muda bisa membuktikan dirinya mampu karena energi dan stamina yang dimiliki. Sementara kader senior harus mampu menunjukan kepiawaiannya sesuai dengan pengalaman dan jam terbang yang dimiliki.

Kebijakan suara terbanyak yang telah dipilih PAN dan Partai Golkar serta diikuti Partai Demokrat itu menunjukan kemajuan dan keinginan yang kuat untuk menghilangkan hegemoni partai politik. Sehingga harapan lahirnya anggota-anggota legislatif yang berkualitas dan memiliki akar rumput dapat terwujud melalui ajang pemilu 2009 mendatang.



Tua dan muda



Lalu terkait dengan wacana soal dikotomi tua-muda calon pemimpin atau calon presiden yang belakangan mengemuka, jelas-jelas membodohi orang banyak. Itu, bahkan pandangan sesat. Sebab, ketika kita mendesak agar yang lebih tua menyingkir dari kompetisi proses pencalonan presiden, sama artinya kita memvonis para calon yang lebih tua tidak kompeten dan tidak kapabel, sementara kita memastikan calon yang yang lebih muda lebih kompeten dan kapabel. Tidak hanya itu, kita juga sebenarnya mengemis-ngemis kepada para calon yang lebih tua untuk membuang kesempatan mereka memenangi kompetisi. Sehingga peluang terbesar jatuh kepada yang muda.

Bagaimana kita bisa memimpin banyak orang jika kita sendiri tidak percaya diri dan tak mampu mengelola potensi yang ada untuk mengalahkan satu-dua orang lawan yang usianya lebih tua? Bagaimana kita bisa meyakinkan banyak orang untuk percaya, jika sekadar mendapatkan kesempatan pun kita minta-minta pada yang lebih tua.

Calon presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama tidak minta-minta kepada lawan-lawannya yang lebih tua dari sesama calon Partai Demokrat untuk menyingkir. Dalam persaingan yang begitu sengit, Obama bahkan tak pernah mendesak Hillary Clinton menyingkir karena alasan mantan ibu negara itu lebih tua.

Jangan juga lupa bahwa mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe terpilih pada usia 51 tahun. Namun dia dicatat sebagai Perdana Menteri Jepang termuda. Dia menang melalui kompetisi, bukan minta dikarbit oleh lawan-lawannya sesama anggota Partai Liberal Democratic (LDP) yang lebih tua. Toh Abe tak mampu bertahan lama. Dia mundur dan digantikan oleh seniornya di LDP, Yasuo Fukuda, yang tahun ini akan berusia 72 tahun.

Presiden AS ke-35, John Fitzgerald Kennedy memenangi nominasi Capres Partai Demokrat pada usia 43 tahun dengan menyingkirkan lawan-lawannya yang lebih tua. Dalam Pilpres Kennedy mengalahkan Richard M Nixon dari Partai Republik yang saat itu berusia 47 tahun. .

Contoh-contoh ini sengaja kita sajikan untuk mengukuhkan persepsi bahwa pemimpin lahir dari keberaniannya meyakinkan publik akan kompetensi dan kapabilitasnya, menantang lawan-lawannya beradu gagasan dan inisiatif. Untuk mencapai titik pencalonan, calon pemimpin harus melalui proses yang panjang dalam menjual gagasannya, sembil menumbuhkan keyakinan di kalangan pemilih bahwa dia kompeten dan kapabel, serta tentu saja berintegritas.

Dunia sekarang sedang menggandrungi Obama. Untuk mencapai titik pencalonan sekarang ini, jalan yang telah ditempuh Obama amatlah panjang. Tahun lalu, dia masih bukan siapa-siapa. Tetapi berkat kerja keras, keberanian dan kepercayaan diri yang besar, dia menjadi ikon. Lawannya di Pilpres November 2008 nanti adalah John McCain yang sudah berusia 71 tahun. Untuk memenangkan kursi Presiden AS, Obama pasti tidak akan mendesak McCain menyingkir dari kompetisi hanya karena dia lebih muda dan lawannya lebih tua.

Kalau sekelompok orang muda Indonesia ingin menjadi seperti Obama, tetapi dengan cara meminta-minta, mereka adalah calon pemimpin yang tidak percaya diri. Mereka ingin menjadi presiden tetapi tidak mau berkeringat, tidak mau bekerja keras dan enggan berkompetisi. Mereka maunya dikarbit. Mereka beranggapan bahwa menjadi pemimpin itu sebagai hak yang diwariskan.

Haruskah kita serahkan masa depan bangsa dan negara kepada sekelompok orang yang persepsi tentang kepemimpinannya begitu sempit? Sudah barang tentu tidak. Wacana tentang dikotomi tua-muda calon presiden itu sebaiknya dianggap tidak pernah ada. Wacana itu sama sekali tak punya kandungan edukasi. Yang pasti menyesatkan. Dan kita harus yakin bahwa sekarang dan di kemudian hari kita tak akan pernah sesat oleh dikotomi itu. Bukankah anak muda itu adalah orang yang selalu berkata inilah dadaku. Mana dadamu. Dan Bukankah anak muda itu adalah petarung yang selalu memegang motto 'sekali layar terkembang, surut kita berpantang!' mr-mediaindonesia.
Oleh Bambang Soesatyo, Pengurus Bappilu Pusat DPP Partai Golkar

Tidak ada komentar: