Rabu, 20 Agustus 2008

Masih Perlukah Hukuman Mati?

Masih Perlukah Hukuman Mati?

Raut muka Ketua Tim Pem bela Muslim (TPM), Mahendradatta, beberapa hari terakhir ini terlihat kusut. Upaya menghalang-halangi pemerintah untuk mengeksekusi tiga terpidana mati kasus bom Bali: Am rozi, Imam Samudera, dan Ali Gufron, sepertinya gagal. Peme rintah melalui Kejaksaan Agung sudah memutuskan bahwa ketiganya akan se gera dieksekusi mati sebelum bulan puasa tiba.

Kegalauan Mahendradatta cukup beralasan. Menurutnya, proses eksekusi terhadap tiga terpidana mati bom Bali itu bisa jadi cacat hukum. Alasannya, hingga kini, Mahkamah Agung ti dak menjalankan proses hukum yang benar (due process of law). ‘’PK (peninjauan kem bali—Red) yang diajukan Amrozi tak pernah di proses melalui suatu persidangan,’‘ kata Mahendradatta.

Menurut Mahendra, MA seharusnya hanya mengenal dua aturan, yakni pu tusan (verdict) dan penetapan (decision). Hingga kini, lanjut Mahendra, MA be lum pernah mengeluarkan pu tusan ataupun penetapan soal permohonan PK kedua dan ketiga Amrozi cs. Disinggung PK pertama, kata Mahendra, PK tersebut diputus tanpa melalui suatu proses persidangan.

PK pertama Amrozi ditolak MA pada 30 Agustus 2007. Lantaran menilai pu tusan PK tersebut tanpa didahului pro ses pemeriksaan perkara di muka persidangan, TPM kemudian mengajukan PK kedua yang disidangkan di PN Denpasar pada 25 Februari 2008. Dalam persidangan PK kedua tersebut, tim kuasa hu kum Amrozi cs walk out karena kecewa permohonan menghadirkan ketiga terpidana mati di persidangan ditolak ma jelis hakim yang diketuai Ida Bagus Putu Madeg.

Bagi Mahendra dan TPM, persoalan hukuman mati ini menyangkut hak hidup seseorang. Sehingga, mereka tetap mengupayakan supaya ketiga terpidana mati ini ditunda dulu ekseku sinya.

Masalah hukuman mati ini memang menarik karena menyangkut hak hidup seseorang. Sejumlah LSM pemerhati hak asasi manusia, termasuk Komisi Nasional (Komnas) HAM, menyerukan kepada pemerintah untuk menghapus kan hukuman mati. Mantan ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, sempat meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. ‘’Peraturan hu kuman seperti itu sudah kehilangan sukma konstitusional. Semestinya, tidak diberlakukan,’‘ kata Abdul Hakim.

Abdul Hakim mengatakan, berbagai diskusi di Komnas HAM sendiri menyatakan bahwa segala peraturan yang mencantumkan hukuman mati tidak memiliki landasan konstitusional. Namun, sebagian anggota Komnas HAM menganggap hukuman ini dapat dihidupkan oleh kekuasaan karena adanya tekanan emosi pu blik dan bisa dijatuhkan pada jenis kejahatan luar biasa.

Menurut Abdul Hakim, hak atas hidup merupakan hak yang tidak dapat dilanggar dengan cara apa pun. Pasal 6 Konvensi Internasional untuk Hak Politik Warga Negara (ICCPR) menyatakan tidak menghapuskan hukuman mati, melainkan membatasi penerapan hukuman mati hanya pada kejahatan yang luar biasa dengan berbagai pertimbangan.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum In donesia (YLBHI) yang diketuai oleh Patra M Zen juga paling kencang menyuarakan supaya hukuman mati dihapuskan. YLBHI malah pernah menjadi kuasa hukum ketika menguji UU tentang Hukuman Mati di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, putusan MK mengatakan undang-undang ini masih sesuai dengan UUD 1945.

Menurut Wikipedia, hukuman ma ti ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai be ntuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat per buatannya. Pada 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, ter masuk Indonesia. Dari data tersebut, 94 persen praktik hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Bentuk hukuman mati di beberapa negara bermacammacam.

Di Arab Saudi dan Iran, hukuman mati yang lazim digunakan adalah pancung kepala. Sedangkan, di Mesir, Irak, Iran, Jepang, Pakistan, hingga ne ga ra tetangga Singapura, hukuman gantung ada lah hukuman yang digunakan untuk meng eksekusi seseorang. Sedangkan, negara-negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti Amerika Serikat, Thailand, dan Taiwan, sengatan listrik dan suntik mati adalah cara mengeksekusi seseorang tanpa harus merasakan penderitaan yang berkepanjangan.

Masalah eksekusi dengan tembak mati ini rupanya juga dipersoalkan oleh Tim Pembela Mus lim (TPM). Rencananya, TPM akan mengajukan hak uji materiil UU No 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi. Hak uji materiil ini akan didaftarkan ke Mahkamah Kon stitusi (MK) pada Rabu (6/8) mendatang. Me tode tembak mati dinilai membuka ruang penyiksaan terhadap terpidana karena terdapat kemungkinan terpidana tidak langsung mati.

‘’Me tode tembak mati seperti sekarang ini melanggar Pasal 28 i UUD 1945,’‘ ujar Mahendra. Tata cara eksekusi sesuai UU No 2/PNPS/ - 1964 menyebutkan, terpidana mati dihadapkan pada satu regu tembak saat eksekusi. Jika terpidana tidak mati dalam kesempatan pertama eksekusi, ketua regu akan menembak langsung di pelipis terpidana hingga terpidana dipastikan mati. Menurut Mahendra, contoh hukuman mati yang bisa mengurangi penyiksaan adalah hukuman pancung atau suntik mati.

Sebenarnya, masalah cara eksekusi hukuman mati ini pernah dipersoalkan ketika Abdul Rahman Saleh menjabat sebagai jaksa agung. Saat itu, Arman—panggilan akrab Abdul Rahman tetap menolak upaya penghapusan hukuman mati yang diusulkan sejumlah kalangan. Arman melihat hukuman mati masih diperlukan sebagai upaya efek jera. Namun, Arman mendukung adanya perubahan metode hukuman mati: dari metode eksekusi tembak mati dengan metode lain, seperti suntik mati atau digantung. Tak hanya Arman, menteri hukum dan HAM saat itu, Hamid Awaluddin, juga mendukung usulan perubahan metode itu. Sayangnya, saat Arman meminta rekomendasi metode hukuman mati yang tepat untuk mengurangi penderitaan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pihak IDI menolaknya. Padahal, jaksa agung sudah membentuk Kelompok Kerja Hukuman Suntik Mati yang melibatkan Mahkamah Agung, IDI, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Ke sehatan, serta Polri. Tak hanya itu, kejaksaan juga meminta fatwa MA untuk batas waktu pengajuan kembali/PK dan grasi dari terpidana mati supaya memiliki kepastian waktu untuk eksekusi.

Masalah kepastian eksekusi ini memang banyak dikeluhkan banyak kalangan. Ter pidana mati kasus pembunuhan seperti Sumiarsih dan Sugeng baru dieksekusi setelah 20 tahun lebih mendekam di penjara. Demikian juga terpidana-terpidana mati lainnya. Mereka harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan kepastian hukum mereka. Hal inilah yang disesalkan Ke tua MPR Hidayat Nur Wahid. Menurut Hidayat, sebaiknya pelaksanaan eksekusi mati tak perlu menunggu proses yang cukup lama, meski tetap menjunjung tinggi hak-hak para terpidana mati untuk melakukan proses hukum berikutnya.

LSM Kontras yang selama ini peduli dengan masalah yang menyangkut hak asasi manusia juga termasuk gencar menyuarakan supaya hukuman mati dihapuskan. Menurut Kontras, hukuman mati menunjukkan bahwa negara telah melanggar hak individu manusia yang semestinya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Menurut Kontras, orang-orang yang telah melanggar hukum tersebut semestinya menja lani proses penghukuman di lembaga pemasyarakatan. Negara dapat memberlakukan pidana yang berat dan sesuai dengan prinsip-prinsip pidana. Kontras menilai bahwa sistem hukum di Indonesia belum menunjukkan sistem per adil an yang independen, imparsial, apalagi mengacu pada profesionalisme aparat penegak hukum. Hal itu merupakan kerentanan besar untuk melahirkan putusan yang salah dan tidak jujur sehingga justru memberikan rasa ketidakadilan.

Menurut Wikipedia, di Amerika Serikat, 123 terpidana mati dibebaskan setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu, enam kasus di tahun 2005 dan satu kasus di tahun 2006, beberapa di antara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan aparatur kepolisian dan kejaksaan yang bekerja tidak baik atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.

Kontras juga memaparkan bahwa hukuman mati gagal membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Wikipedia menulis survei yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan bahwa praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.

Pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono, tak memberikan respons khusus terkait usulan dihapusnya hukuman ma ti di Indonesia.

Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng, mengatakan bahwa wajar saja bila ada wacana seperti itu. Namun, saat ini, Presiden Yudhoyono mengikuti undang-undang yang ada. ‘’Pada prinsipnya, tetap berpegang jika kesalahannya kecil, dihukum kecil; kesalahan sedang, dihukum sedang; dan kesalahan besar, dihukum besar,’‘ ka ta Andi. Diakui Andi, dalam beberapa hari ter akhir ini, banyak pesan pendek yang masuk melalui nomor Presiden mengenai hukuman mati. Dia mengatakan, Presiden dalam hal ini terikat pada peraturan-peraturan itu. Misalnya, untuk pemberian grasi, Presiden harus berkonsultasi dengan Mahkamah Agung. Sedangkan, untuk amnesti dan abolisi, Presiden berkonsultasi dengan DPR.

Untuk pemberian grasi, bila pertimbangannya tidak dapat diberikan, tentunya proses hukuman mati akan dilaksanakan karena dalam konteks sistem hukum di Indonesia masih ada prinsip hukum; jika seseorang melakukan pembunuhan yang artinya mengambil hak hidup orang lain dengan kekerasan, sama saja orang itu menghapus hak hidupnya sendiri.

Ketika ditanya mengapa pelaksanaan hukuman mati para terpidana harus menunggu cukup lama, Andi mengatakan, pelaksanaan hukuman mati memerlukan proses yang cukup detail hingga sampai ke Presiden, dengan maksud saat hukuman itu dilaksanakan sudah dapat dipastikan semua proses hukum sudah dilalui dengan tepat.

Belum reda usulan penghapusan hukuman mati, muncullah kasus mutilasi dan pembunuhan berantai oleh Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Masyarakat pun geram dengan aksi Ryan. Mereka mendesak supaya Ryan dihukum mati saja. Hal ini juga diperkuat oleh Polri. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira, menyatakan, Ryan memang terancam hukuman mati. Menurut Abubakar, polisi akan menjerat tersangka ini dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara, seumur hidup, atau mati. Tak hanya kasus Ryan. Hukuman mati pun layak dijatuhkan kepada para koruptor. Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, menyatakan, pemerintah perlu segera menerapkan hukuman mati bagi koruptor yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan jumlah yang sangat besar dan merugikan keuangan negara.

‘’Hukum harus ditegakkan kepada siapa pun. Siapa saja yang terbukti merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar, hukuman mati bisa dilaksanakan,’‘ tegas Hidayat. Hidayat mengatakan, dirinya telah meminta langsung kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk menerapkan hukuman yang terberat bagi para koruptor. ‘’Ini untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia ke depannya,’‘ ujarnya. Pidana mati untuk koruptor di Indonesia bisa diberlakukan bila mengacu kepada UU RI No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 Ayat 2 menyebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam na sional, pengulangan tindak pidana ko rupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Nurwahid mengatakan, pelaksanaan hukuman mati tersebut diterapkan agar menimbulkan efek jera bagi koruptor ataupun calon koruptor itu sendiri. ‘’Ini akan memberikan keperca ya an kepada masyarakat bahwa di ne gara kita hukum dapat ditegakkan dan masih ada perlindungan bagi rakyat,’‘ ujarnya.

Selain Hidayat, Ketua DPR RI Agung Laksono juga mendukung wacana hukuman mati kepada koruptor. Ia berharap, wacana itu didukung berbagai pihak, termasuk kalangan DPR. Menurut Agung, di negara lain yang semula terdapat korupsi, kemudian diberlakukan hukuman berat, termasuk hukuman mati, tingkat korupsinya menurun drastis. Artinya, hukuman mati efektif untuk memberantas korupsi. Jadi, masih perlukah sebenarnya hukuman mati diberlakukan di negara kita? dri/c64/ade/one


Hukuman Mati Diperbolehkan Dalam Syariat Islam

Pro dan kontra soal hukuman mati belakangan ini terus gen car disuarakan. Desakan penghapusan hukuman mati ini mulai marak ketika para terpidana mati narkoba khususnya beberapa warga negara Australia mengajukan uji materiil hukuman mati ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Anggapan bahwa hukuman mati adalah suatu bentuk hukuman yang melanggar hak asasi manusia itu dimentahkan oleh Hakim Konstitusi yang dalam putusannya menilai hukuman ini tak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum di Indonesia. Dalam pandangan Agama Islam, hukuman mati relevan dilakukan karena memberikan efek jera terhadap kejahatan luarbiasa yang merugikan kepentingan orang banyak. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, dalam syariat Islam, hukuman mati diperbolehkan. Untuk itu, Amidhan mengatakan pemerintah harus tegas melaksanakan hukum termasuk hukuman mati sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri mendukung hukuman mati ter utama bila dijatuhkan kepada parapelaku kriminal dan penjahat yang sudah menyengsarakan rakyat banyak.

Ketua MPR Hidayat Nurwahid yang juga mantan Presiden Partai Keadilan menilai persoalan utama pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan hukuman mati terutama karena eksekusi terpidana tersebut dibiarkan berlarut-larut. ''Bukan ma sa lah hu kum an matinya, tapi seorang yang sudah dijatuhi hukuman mati proses ekse kusinya terlalu la ma sehingga menambah beban psikologis bagi terpidana tersebut,'' ka tanya. Sebagai con toh terpidana mati yang harus menjalani hukuman 10-20 tahun pen jara dan baru dihu kum setelah pro ses wak tu tersebut.

'''Seharusnya kepasti an hukum bagi terpidana itu tak berla rut-larut, tentunya juga de ngan mempertimbangkan hak hukum terpidana tersebut seperti grasi dari presiden,'' katanya.

Masalah hukuman mati dalam syariat Islam menurut Amidhan juga tak terlalu kaku. Dalam hukum Islam, ter dapat lembaga pemaaf yang berfungsi menggantikan hukuman mati. ''Lembaga pemaaf itu bisa berupa denda sesuai perbuatan yang diperbuat pelaku kejahatan.”Tapi tidak termasuk di dalamnya terorisme dan provokatornya,’' kata Amidhan.

Menurut Amidhan, tak ada ketentuan yang menjelaskan seseorang di jatuhi hukuman mati kecuali apa bila ia melakukan perbuatan pembunuhan secara sengaja dan tanpa adanya alasan. Artinya hukuman ma ti hanya diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja. Na mun, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan tersebut juga tidak mut lak dijatuhkan mengingat adanya ketentuan lain yang dapat menggugurkan hukum an mati tersebut yakni dengan ada nya kemaafan dari pihak ahli wa ris ter bunuh, dan pembayaran diyat dengan cara yang baik menurut syara’.

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 178, artinya: 'Hai orangorang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa dari saudaranya hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendak (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang memaafkan dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu merupakan keringatan dari Tuhan-Mu dan rahmat.”

Sependapat dengan Amidhan, Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Umar Shihab juga membenarkan hukuman mati sudah sesuai hukum Islam. Dalam Islam disebutkan seseorang yang sengaja menghilangkan nyawa orang lain akan mendapat hukuman mati. Umar juga mengatakan hukuman mati juga bisa dijatuhkan kepada pelaku pengedar narkotika.''Karena ini membahayakan dan merusak masyarakat,'.r-republika-telisik

Tidak ada komentar: