Selasa, 19 Agustus 2008

Memaknai Kemerdekaan Saat Ini


Memaknai Kemerdekaan Saat Ini

Setiap 17 Agustus ada suasana bahagia, syukur, dan heroisme yang bersatu. Di setiap mulut gang, di setiap RT hingga tingkat nasional. Dari warga terpencil hingga di pusat kekuasaan. Semuanya berhias, berpesta, dan bertafakur. Beragam kegiatan dilakukan, mulai dari yang formal, seperti upacara bendera dan malam renungan hingga kegiatan bersenang-senang, antara lain pesta dangdut, panjat pinang, balap karung, dan lomba makan kerupuk. Inilah pesta nasional: berulang dan ritmis. Semacam ritual budaya. Kadang kita merasa kok itu-itu saja. Namun, kita tetap bahagia. Karena itu, momen ini akan dimanfaatkan siapa pun. Perusahaan memanfaatkannya untuk beriklan, demikian pula politisi. Di saat seperti ini selalu saja terselip perenungan: apa makna kemerdekaan saat ini? Kita terkenang pada pidato Bung Karno, sang proklamator, bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang dan jembatan emas menuju suatu cita-cita. Pembukaan UUD 1945 tak melulu bicara politik, ekonomi, kebudayaan, atau segala yang berbingkai besar. Tapi, di dalamnya sangat sarat dengan cita-cita humanisme, yang menyangkut nilai-nilai keseharian dalam hubungan antarmanusia.

Cita-cita proklamasi bukan sekadar membebaskan dari belenggu struktural di luar kita, tapi juga membebaskan belenggu antihumanisme pada diri kita. Cita-cita kemakmuran, keadilan, dan kemanusiaan sangat mendominasi semangat kemerdekaan Indonesia. Kini, setelah 63 tahun merdeka, cita-cita proklamasi justru makin relevan. Saat ini, liberalisme, materialisme, dan individualisme demikian menggejala. Hubungan antarmanusia menjadi renggang. Nilai-nilai tersebut memaksa kita menjadi tak punya waktu, perhatian, bahkan kepedulian terhadap sesama. Secara politik, liberalisme berarti melucuti peran negara dan pemerintah bagi tercapainya cita-cita proklamasi. Apalagi, kini negara sangat lemah setelah dihimpit krisis berkepanjangan. Maka, revivalisme kemanusiaan dalam bingkai semangat proklamasi makin menjadi kebutuhan. Kita menyaksikan saat kemarau begitu banyak rumah terbakar. Saat hujan giliran kebanjiran dan longsor. Biaya sekolah terus menghimpit, namun kemiskinan justru makin meruyak. Harga tanah terus melangit, demikian pula harga bahan bangunan. Ini tentu sangat menyulitkan pemenuhan kebutuhan papan kita. Harga-harga pangan pun makin tak terjangkau. Pasar-pasar tradisional dipaksa minggir oleh kehadiran hypermarket mancanegara. Sumber daya air kita telah dimiliki korporasi asing, yang menyulitkan pertanian dan kebutuhan air warga sekitar. Produk-produk pertanian yang tak dibangun, dipaksa bersaing dengan produk pertanian negara lain yang dibantu negara. Industri-industri rumah tangga hancur oleh barang impor yang sangat murah karena manajemen negara lain yang bisa memproteksi dan membantu industrinya. Ini tentu sangat memiskinkan dan mempersempit lapangan kerja. Di saat semua derita itu hadir, hanya tetangga, kerabat, dan siapa pun yang peduli untuk berada di sisi kita. Di sinilah relevansi kemerdekaan dalam konteks kekinian. Kita harus kembali kepada cita-cita proklamasi dan pembukaan UUD 1945. Jika negara dan pemerintah tak bisa menerjemahkannya, kita sebagai manusia Indonesia pasti bisa. Mari kita kembali kepada nilai-nilai dasar yang diwariskan nenek moyang kita, yang kini sedang digerus oleh arus globalisasi yang dibiarkan telanjang memasuki kita. Kita telah diwarisi nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, berbagi, dan peduli. Hanya dengan cara itu kita bisa saling melindungi dan membantu.Tak apa kita berjalan di luar negara dan pemerintah. Karena, ini hanyalah aksi humanitas, sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945.mr-tajukrepublika

Tidak ada komentar: