Selasa, 19 Agustus 2008

Penolakan Lanjutan dari Babakan Ciwaringin

Penolakan Lanjutan dari Babakan Ciwaringin

Senja bersiap turun ketika anak-anak bersarung dan berkopiah berjalan perlahan di jalanan tanah Babakan Ciwaringin, Cirebon. Sebagian anak lainnya sudah berkumpul di pemakaman keluarga KH Ali Masina.

Tidak berapa lama, lafal doa terdengar menembus keheningan desa. Deru kendaraan yang lalu lalang di jalur utama Bandung-Cirebon tidak terdengar.

Sekitar lima meter dari pintu makam, di depan sebuah tanah kosong, terpasang papan kecil bercat dasar putih bertuliskan ”Tanah Tidak Dijual” berwarna merah. Tulisan itu menegaskan penolakan atas rencana pembangunan Jalan Tol Cikampek-Palimanan sepanjang 116 kilometer oleh PT Lintas Marga Sedaya.

Dalam rencana, jalan tol itu akan menerabas kawasan 35 pesantren. Di sini sekitar 5.000 santri menimba ilmu.

Investasi tol ini mencapai Rp 5,9 triliun, termasuk biaya pembebasan lahan Rp 500 miliar. Hingga 1 Agustus 2008, dari kebutuhan lahan 788 hektar (ha), baru dibebaskan 52 ha atau 6,64 persen. Kepala Subdirektorat Pengadaan Lahan Departemen Pekerjaan Umum Wijaya Seta membenarkan, sudah ada lahan sekitar Babakan Ciwaringin yang telah dibebaskan.

Rencana pemerintah melanjutkan pembangunan Tol Cikampek-Palimanan mengundang masalah. Rencana pembangunan jalan tol mengacu lagi pada trase 1996 yang memangkas tanah pesantren. Pada masa Orde Baru, penolakan mereka terhadap rencana itu tidak membuahkan hasil. Kiai Marzuki Amin, pengasuh Pesantren Muallimin-Muallimat, menceritakan represi penguasa yang mesti mereka alami. Rumah disatroni, bahkan todongan pistol. Untungnya, reformasi datang, pembangunan batal. ”Allah yang menyelamatkan,” kata Marzuki.

Pada tahun 2006, pemerintah kembali menyosialisasikan trase versi baru. Dalam versi baru itu, direncanakan ruas tol melewati areal persawahan dan tidak lagi membelah permukiman dan pesantren. Rencana itu kembali berubah, bahkan pemerintah tampaknya bakal kembali pada rencana tahun 1996. Alasannya, pemindahan jalur akan menaikkan biaya dan butuh waktu perencanaan dan uji kelayakan.

Namun, pihak pesantren menilai alasan itu bukan sebenarnya. Pemindahan dinilai lebih karena keberpihakan pemerintah terhadap investor jalan tol. Karena itu, para kiai dan santri tidak segan-segan turun ke jalan. Tanpa memedulikan terik mentari, mereka menyusuri jalanan pintu penghubung Cirebon-Bandung, membentangkan spanduk berisi seruan penolakan tol, membagikan pamflet, hingga memblokade jalan agar aspirasi mereka diperhatikan.

Sejarah perlawanan

Kiai Marzuki Amin mengisahkan, pada masa Pemerintah Hindia Belanda mereka pun menolak pembangunan jalan yang akan membelah desa mereka. TD Sudjana, sejawaran dari Keraton Kanoman Cirebon, mengatakan, perang melawan Daendels pecah pada tahun 1808. Perang terjadi karena Daendels memaksa membangun Jalan Anyer-Panarukan yang membelah Desa Babakan yang merupakan desa pesantren. Pada saat itu, jalur yang dilalui Deandels menabrak makam Ki Jatira atau dikenal sebagai Ki Hasanudin, leluhur yang membangun desa itu pada tahun 1715.

Marzuki menceritakan, pemuda desa berani memindahkan patok rencana pembangunan jalan itu dan membuangnya. Terjadilah perang besar-besaran yang kemudian disebut sebagai Perang Kedongdong, perang terbesar di Cirebon. Perang itu tidak hanya di Babakan, tetapi sampai ke perbatasan Brebes, Jawa Tengah. Perang panjang itu bahkan melibatkan sejumlah tokoh Majalengka dan Indramayu. Perang Kedongdong akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 1818, Belanda mau mengubah jalur jalan dengan memindahkannya ke sisi barat. Jalan itu kini jadi jalan besar penghubung Cirebon-Majalengka.

Akan tetapi, menurut sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), Harto Juwono, kebenaran soal Perang Kedongdong terkait dengan pembangunan Jalan Raya Pos masih harus diuji. Laporan pemerintah kolonial menyebutkan, tidak pernah ada perlawanan pribumi terkait pembangunan Jalan Raya Pos. Perang di wilayah Cirebon dan sekitarnya dengan beragam pemicu yang memunculkan tokoh Bagus Rangin bukan hanya terjadi sekali-dua pada tahun 1798-1832.

Harto pun mengingatkan perlunya diuji kembali apakah perlawanan masyarakat setempat dengan pemindahan patok jalan terkait pembangunan jalan atau terkait pemetaan tanah untuk kepentingan kutipan pajak tanah yang diberlakukan pada masa pemerintahan Raffles. ”Bisa jadi, orang-orang masa itu tidak tahu ada pergantian pemerintahan. Jadi tidak dibedakan Daendels dengan Raffles,” ujar Harto.

Apa pun kebenaran sejarahnya, para kiai dan santri di Babakan Ciwaringin bersikeras menuntut pemerintah mengalihkan rencana pembangunan jalan. Alasannya, sebagian tanah yang akan dilewati adalah wakaf untuk perluasan pesantren. ”Kami tidak dapat mengalihkan niat itu untuk kepentingan lain,” kata Marzuki Amin.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Nurdin Manurung menegaskan, jalur Tol Cikampek-Palimanan yang melintasi pondok pesantren Babakan Ciwaringin tidak akan digeser. Penggeseran jalur akan menimbulkan masalah baru. Pemerintah tidak menyiapkan rencana jalur alternatif.

”BPJT dan Departemen Pekerjaan Umum akan berupaya menyelesaikan persoalan lahan di Ponpes Babakan dengan cara baik. Kami juga tidak ingin pembangunan infrastruktur menimbulkan konflik horizontal sebab ada pihak yang pro-kontra,” kata Nurdin, Selasa (12/8) di Jakarta.

Departemen PU menyiapkan dua solusi. Pertama, membangun tiga terowongan di bawah ruas tol sehingga interaksi sosial warga Babakan Ciwaringin tidak terganggu. Kedua, membangun tol dengan konstruksi layang sepanjang 350 meter. Menteri PU juga menawarkan kompensasi dilewatinya kawasan dengan jalan tol, yakni pembangunan instalasi air minum dan perbaikan jalan lingkungan di Babakan Ciwaringin. Untuk meredam kebisingan, Departemen PU juga menjanjikan pembangunan tembok (noise barrier).

Namun, Marzuki menegaskan, solusi satu-satunya tetap pemindahan jalur tol. Kebanggaan seperti yang ditunjukkan pendahulu telah mengobarkan semangat mereka untuk mempertahankan tanahnya.mr-kompas

Tidak ada komentar: