Jumat, 15 Agustus 2008

Mugniyah, Legenda Pahlawan Libanon

Mugniyah, Legenda Pahlawan Libanon
Judul Buku : Anakku Dibunuh Israel: Legenda Imad Mugniyah

Penulis : Husein Ja'far Al Hadar

Penerbit : Hikmah, Jakarta

Cetakan : I, Juli 2008


Namanya Imad Mugniyah. Ia salah satu jajaran teras di kepemimpinan organisasi Hizbullah, salah satu faksi politik di Libanon. Ia disebut-sebut sebagai otak kesuksesan Hizbullah meladeni Israel pada perang 34 hari pada 2006. Ironisnya, Mugniyah tak populer di saat hidupnya, tapi justru setelah kematiannya. Pada 12 Februari 2008, Mugniyah tewas dalam sebuah serangan bom mobil misterius di Damaskus, Suriah.

Kematian Mugniyah disambut haru sebagian besar rakyat Libanon. Namun, anehnya, ibunda Mugniyah, justru berkata demikian: ''Satu-satunya kesedihan yang saya rasakan saat ini adalah karena saya tidak memiliki anak lagi yang dapat saya berikan di jalan jihad dan perjuangan'' (hlm. 1). Sekedar diketahui, Mugniyah memiliki dua saudara kandung, Jihad dan Fouad, yang juga telah gugur jauh sebelumnya. Peryataan ibunda Mugniyah tersebut merepresentasikan sebuah realitas sosial-politik, yang jika ditafsirkan dalam realitas yang lain akan berbeda maknanya.

Buku ini menarasikan perjalanan hidup dan perjuangan Mugniyah dengan amat menyentuh. Mulai dari karier organisasinya, kiprah politiknya, hingga sisi kehidupan keluarganya yang jarang terungkap ke publik. Jika selama ini buku tentang Hizbullah selalu diidentikkan dengan Sayyid Hasan Nasrullah, komandan tertingginya, maka buku ini mengungkap peran Mugniyah sebagai figur di balik layar yang menorehkan kesuksesan bagi organisasi tersebut. Mugniyah dan Nasrullah adalah sahabat dekat, sekaligus pioner Hizbullah.

***

Pemaknaan masyarakat di Timur Tengah terhadap terminologi pahlawan, masih banyak dipengaruhi oleh konteks perang. Konflik antara Israel dan Libanon merupakan salah satu contohnya. Terkait dengan sosok Mugniyah, dalam sudut pandang Hizbullah, ia adalah sosok pahlawan. Karena Hizbullah merupakan salah satu elemen dari rakyat Libanon, maka Mugniyah otomatis menjadi pahlawan dalam pandangan sebagian rakyat Libanon. Entah menurut sisi pandang sebagian rakyat Libanon yang lain.

Kepahlawanan Mugniyah disimpulkan dari dua premis. Pertama, siapa yang memperjuangkan pembebasan tanah air Libanon adalah pahlawan. Kedua, Israel merupakan sosok imperialis penjajah Libanon. Maka, konklusinya: siapa yang beraksi melawan Israel adalah pahlawan. Mugniyah memenuhi kualifikasi tersebut. Artinya, Mugniyah adalah pahlawan. Itulah salah satu logika yang berkembang dalam masyarakat Libanon. Pada negara-bangsa yang lainnya, ada berbagai logika dengan konklusi yang beragam pula. Bahkan, di Libanon sendiri mungkin ada beberapa pemaknaan terminologi pahlawan, sesuai dengan cara pandang masing-masing rakyatnya.

Lalu, apa yang bisa kita lihat dari fenomena Mugniyah. Dalam perspektif saya, Mugniyah sebenarnya adalah korban. Ya, korban yang dipaksa untuk menjadi pahlawan. Dengan membaca buku ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Mugniyah pada dasarnya adalah korban Israel yang memaksa sebagian rakyat Libanon mendefinisikan kepahlawanan identik dengan gugur di medan laga pertempuran. Baik dengan melakukan bom bunuh diri atau cara-cara militeristik lainnya. Mugniyah adalah korban dari imperialisasi Israel, sekaligus pahlawan bagi patriotisme Libanon.

Bisa kita lihat di sini bagaimana pengertian terminologi pahlawan bisa berada pada dua titik ekstrem yang bertolak belakang. Dalam bahasa penulis buku ini, ''sebenarnya Israellah yang secara tidak langsung mendidik dan membentuk diri Mugniyah menjadi figur pahlawan bagi Libanon, dan musuh bagi Israel sendiri.'' (hlm. 46, 48, dan 52).

Perlakuan Israel terhadap Libanonlah yang memicu lahirnya Mugniyah dengan segala karakter keberanian dan patriotisme yang dipanggulnya. Dan, di Libanon sudah dan akan lahir jutaan Mugniyah yang lain.

Mugniyah adalah korban sebuah konteks yang dipaksa mendefinisikan terminologi kepahlawanan sebagai kematian. Seseorang akan disebut pahlawan jika gugur di medan laga. Mugniyah lahir sebagai Libanon. Dan karena negerinya berada dalam rundungan konflik politik dengan Israel, maka ia dituntut untuk mampu menjadi pahlawan dalam konteks yang seperti itu. Ia tertuntut untuk menjadi pahlawan bagi pembebasan negerinya dari cengkeraman lawan politiknya.

Dalam pengertian yang seperti itu, Mugniyah mencapai puncak kepahlawanannya. Ia figur penting dalam sebuah organisasi perlawanan terhadap Israel, dan meninggal di tangan pihak yang dilawannya itu. Demikianlah sebuah konteks melahirkan pemaknaan sendiri tentang terminologi pahlawan. Dalam konteks politik Libanon, kematian justru dilihat sebagai manifestasi dari kehidupan. Karena itu, jika di sudut-sudut negara yang lain kematian ditaburi dengan keharuan, maka di Libanon justru kehidupan yang ditangisi. Di negeri itu, kematian dikejar, ditangkap, dan setelah didapat akhirnya dirayakan, laksana pesta.

Kondisi Libanon tersebut adalah simbolisasi tatanan dunia yang masih harus diperbaiki keseimbangannya di berbagai sisi. Libanon adalah ekspresi tatanan dunia yang masih dipenuhi praktik eksploitasi, hegemoni, dan neo-kolonialisasi dalam berbagai bidang. Puncaknya, dunia benar-benar bisa dibilang damai, jika tidak ada satu pun dari elemen penghuninya yang mendefinisikan kepahlawanan dari perspektif kematian, melainkan dari sisi kehidupan dengan segala kreasinya. Apakah ini sebuah mimpi? Coba tanya pada John Lennon. (*) *) Muhammad Ja'far, peneliti LP3ES Jakarta

Tidak ada komentar: