Rabu, 20 Agustus 2008

Berdamai dengan Masa Lalu

Berdamai dengan Masa Lalu

Sri Sultan Hamengku Buwono X
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Selalulah meminta kepada Tuhan
dan teruslah berbuat,
sehingga hidup ini menjadi lebih berarti.

Pesan ini bukanlah iklan pariwara para politisi selebriti yang ditayangkan stasiun TV dalam beberapa durasi yang berharga miliaran rupiah. Pesan monumental ini meluncur dari politisi sejati, seorang pejuang, negarawan, ulama intelektual Dr Mohammad Natsir saat berpidato di depan mahasiswa Medan, 2 Desember 1953.

Pesan paling dalam yang ditanamkan seorang Natsir bukanlah tulisan berbunga-bunga, apalagi retorika mengangkasa tak bertepi, melainkan lebih banyak berwujud tindakan. Dalam masa krisis, katakata mesti diisi dengan makna nyata. Bukan sekadar ungkapan ‘’hidup adalah perbuatan’’. Sebuah kata harus dapat menemukan tenaga kreatif dan kemampuannya untuk menyatukan dan membebaskan manusia. Kata dan perbuatan harus selaras dan menyatu.

Mosi Integral Natsir
Setidaknya itulah yang ditulis Natsir sepanjang hidupnya, dengan pena keikhlasan dan tinta pengorbanan. Masa-masa hidupnya adalah masa pengabdian dan pelayanannya kepada negeri tercinta. Prestasi spektakuler Natsir terekam dalam sejarah.

Ketika Indonesia menjadi negara serikat sebagai produk dari Konferensi Meja Bundar (KMB), dalam sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950, Natsir tampil dengan melontarkan statemennya yang dikenal dengan Mosi Integral Natsir. Implikasi dari mosi itu, Indonesia yang sudah terpecah menjadi 16 negara bagian dapat bersatu kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas jasanya ini, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai perdana menteri RI pada 1950-1951. Saat itu, usianya baru 42 tahun.

Ketika itu, secara hukum negara yang berdaulat ialah negara RIS, sebuah negara hasil kompromi, bukan negara yang diproklamasikan pada 1945. RIS yang diakui sebagai ‘’pewaris’’ Hindia-Belanda, harus membayar pula utang yang dibuat negara kolonial yang digantikannya itu. Padahal utang itu diperbuat untuk membiayai usaha penghancuran RI. Irian Barat pun masih di tangan Belanda. De Javasche Bank tetap berperan sebagai bank sentral.

Rasionalisasi TNI harus dijalankan, dengan perwira Belanda menjadi penasihat. Bekas pejuang dikembalikan ke masyarakat, sedangkan Koninklijke Nederland Indische Leger (KNIL) yang kebetulan terlatih baik diintegrasikan ke dalam TNI. Lukaluka Revolusi di mana-mana masih mencekam ke dalam lubuk kesadaran dan kehidupan rakyat.

Gagasan brilian pun muncul dari Mohammad Natsir. Ia berpendapat, masalah pokok yang harus dipecahkan adalah membentuk NKRI, apakah dengan cara penggabungan negaranegara bagian ke RI Yogyakarta atau langsung semua negara-negara bagian ke NKRI, itu adalah masalah teknis. Yang penting menurutnya, ‘’Pembentukan NKRI itu harus tanpa menimbulkan konflik antarnegaranegara bagian dan golongan dalam masyarakat.’’

Ketika Mosi Integral Natsir diterima parlemen, maka pada 17 Agustus 1950 negara kesatuan pun kembali berdiri. Keseluruhan isi Mosi Integral Natsir tertuang dalam sebuah naskah otentik DPR Sementara RIS. Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir menyampaikan pidato Mosi Integral: Semua negara-negara bagian mendirikan NKRI melalui prosedur parlementer; tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya; dan masing-masing negara bagian merupakan bagian integral dari NKRI yang akan dibentuk.

Tokoh pejuang yang gigih
Berkali-kali dia menyelamatkan Republik ini dari ancaman perpecahan. Dialah yang pada 1949 berhasil membujuk Sjafruddin Prawiranegara —yang bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Royen untuk kembali ke Yogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh, yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalihan Natsir.

Kejujuran itu pula yang disampaikan H Agus Salim kepada seorang Indonesianis, George McTurnan Kahin: ‘’Natsir tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri, namun demikian, dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, Anda sudah seharusnya berbicara dengannya.’’ Natsir tak pernah berpenampilan seperti seorang menteri dalam pengertian modern. Ia selalu tampil dalam balutan busana sederhana dengan peci dan (di usia senjanya ditambah) sorban putih yang ia lilitkan di leher.

Hubungannya dengan Presiden Soekarno sempat merenggang selama penyelesaian Irian Barat. Puncaknya terjadi setelah peristiwa Cikini, November 1957. Meski Natsir tidak ada kaitan sama sekali dengan peristiwa itu, Soekarno menuduhnya berada di belakang aksi tersebut. Setelah peristiwa Cikini, bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap, Natsir diisolasi. Akhirnya mereka pindah ke Sumatera Barat.

Dalam situasi negara yang tidak menentu, Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein mengultimatum pemerintah, dalam hal ini Perdana Menteri Djuanda, agar mengundurkan diri. Pemerintah justru memecat Husein, Simbolon, dan beberapa perwira Angkatan Darat (AD) lainnya. Tak lama kemudian Kolonel Ahmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Ketika operasi AD terhadap PRRI pada 25 September 1961, Natsir ditangkap dan dipenjara, karena terlibat PRRI. Sejak 1962 sampai 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta.

Di awal rezim Orde Baru, Natsir dibebaskan, tapi ia tetap dilarang berpolitik. Walau demikian, aktivitasnya tidak terhenti, sejak 1967 sampai akhir hayatnya, ia mendirikan dan memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Melalui DDII, sampai akhir hayatnya Natsir berkiprah membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.

Manusia multidimensi
Natsir tak hanya sekadar tokoh politik Islam dan seorang ulama, namun dalam dirinya melekat beragam dimensi lainnya. Ia adalah seorang intelektual Muslim par excellent yang menguasai khazanah ilmuilmu ke-Islaman dengan amat luas. Ia memahami tafsir, hadis, fikih, sejarah dan syariah. Ia paham bahasa Arab, Belanda, Inggris, Prancis, dan Latin pada usia 21 tahun.

Ia tumbuh dari bawah, mandiri, punya karakter, punya prinsip, loyal, dan memiliki integritas bukan oportunis atau seorang penjilat. Hidupnya sederhana, terus terang, setia, kritis, penuh tanggung jawab dan tidak memanfaatkan jabatan. Senantiasa berbicara sejuk dan menenteramkan umat. Jauh dari kalimat-kalimat menghasut, provokatif. Pertanyaanpertanyaan yang sifatnya menghujat sekalipun dihadapi dengan senyuman.

Ketika menjabat perdana menteri pada 1950-1951, Mohammad Natsir tidak alergi melibatkan IJ Kasimo dan FS Hariyadi dari Partai Katholik, J Leimena dan AM Tambunan dari Parkindo, dan tokoh-tokoh sosialis dalam kabinetnya sebagai menteri. Bagi Natsir bangsa ini harus diurus bersama walau dalam politik terdapat perbedaan tajam Masjumi dengan partai-partai Kristen, Katolik, Nasionalis, dan Komunis.

Mungkin sedikit yang tahu, Natsir amat menggemari dan memiliki apresiasi yang baik tentang musik. Natsir adalah tipe manusia pembelajar yang haus akan banyak ilmu dan pengetahuan. Semuanya ia pelajari dengan sungguh-sungguh. Ia adalah manusia yang identik dengan buku dan khazanah ilmu.

Ia adalah sosok pemimpin yang sederhana namun berkarisma. Penampilan, keseharian Natsir jauh dari aroma kemewahan. Yang dia pikirkan bukanlah dirinya, tetapi selalu umat dan bangsanya. Bagaimana kediaman Natsir? Kursi yang diduduki adalah kursi tua. Ruang tamu Mohammad Natsir dihiasi sebuah lampu baca di pojok ruangan.

Kemuliaan hatinya adalah kemuliaan seorang pemimpin. Betapa ia dapat mengalahkan bahkan melampaui kepentingan pribadi sebagai nilai ketokohan intrinsiknya. Ketokohan atau kenegarawanan seorang Mohammad Natsir sudah menjadikannya ‘’pahlawan hati’’, sebelum Pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional.

Berdamai dengan Masa Lalu
Natsir belum menjadi Pahlawan Nasional dengan alasan terlibat dalam pemberontakan PRRI. Padahal bukankah ketika PRRI berakhir, kepada semua tokoh yang dianggap terlibat telah diberikan amnesti? Bahkan ada yang mengatakan, sebenarnya jasa Natsir justru dalam mengatasi pemberontakan PRRI pada kurun 1950-an itu.

Dijelaskannya, pada awalnya PRRI ingin membuat Negara Sumatra. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap masuk ke PRRI dan ingin gerakan tersebut tetap dalam kerangka NKRI. Mereka rela ‘’membakar’’ diri untuk mempertahankan keutuhan NKRI.

Upaya berdamai dengan masa lalu diperlukan untuk membangun kembali kepercayaan, bahwa negeri ini memang masih menjanjikan sesuatu, untuk sebuah kehidupan yang lebih baik bagi rakyat dan generasi mendatang. Rekonsiliasi adalah prakondisi bagi terjadinya masa depan yang lebih baik itu. Rekonsiliasi sejarah merupakan jalan keluar bagi bangsa Indonesia, untuk mengatasi persoalan dan sengketa yang terjadi pada masa lalu. Bukankah Indonesia Baru tidak mungkin dibangun oleh amarah dan dendam?

Sebagai penutup, akan dikutip puisi Mohammad Iqbal berjudul ‘’Harapan kepada Pemuda’’ yang diterjemahkan oleh M Natsir sebagai bait penggugah jiwa bangsa, di tengah pragmatisme politik di negeri ini.

Dan janganlah dipilih hidup ini bagai
nyanyian ombak
Hanya berbunyi ketika terhempas di
pantai
Tetapi jadilah kamu air bah,
mengubah dunia dengan amalmu
Kipaskan sayap mu di seluruh ufuk
Sinarilah zaman dengan nur imamu
Kirimkan cahaya dengan kuat
yakinmu
Patrikan segala dengan nama
Muhammad

Tidak ada komentar: