Jumat, 15 Agustus 2008

Pertarungan Identitas Islam Jawa

Pertarungan Identitas Islam Jawa

TRISNO S SUTANTO

Ini anekdot lucu yang diceritakan Ricklefs. Konon, pada tahun 1870-an, ada seorang bupati di Jawa yang sangat mengagumi budaya, cara hidup, dan pendidikan Belanda sampai-sampai pernah berujar bahwa ia ingin hidup seperti seorang Belanda. Padahal, ia seorang Muslim. Ada yang bertanya kepadanya, apakah itu berarti ia akan pindah dan memeluk agama Kristen? ”Ah,” jawabnya, ”kalau mau jujur, saya lebih suka memiliki empat orang istri dan satu Tuhan ketimbang seorang istri dan tiga Tuhan.”

Cerita lucu itu, dikutip Ricklefs dari laporan CE van Keesteren tahun 1870, bisa menggambarkan soal yang rumit dan subtil tentang persoalan identitas. Sang bupati adalah wakil priayi, elite Jawa yang memperoleh privilese akibat cultuurstelsel yang dipaksakan Belanda pada tahun 1830-an, dan merasa bahwa modernitas yang dibawa Belanda dapat membuka masa depan yang jauh lebih cerah serta, sekaligus, kemungkinan untuk bangkitnya peradaban Jawa adiluhung sebelum Islam datang. Tetapi, mengapa sebelum Islam?

Benar, sang bupati adalah seorang Muslim. Akan tetapi, ia tidak ingin mengikuti visi Islam puritan, yang semakin kuat pengaruhnya semenjak kembalinya jemaah haji dari Tanah Suci. Begitu juga ia tidak lagi merasa krasan dengan sintesa mistik yang dulu menjadi serat kultural kejawaannya, di tengah kawruh modern yang dibawa oleh sains Eropa dalam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Namun, bagi orang seperti dia, kekristenan dengan doktrin trinitasnya (tetapi monogamis!) bukan pula alternatif menarik.

Maka, ke arah mana dia harus berpaling? Kembali pada peradaban Jawa pra-Islam, apa yang waktu itu dikenal sebagai zaman buda dan agama budi yang (lebih) utama. Pada bulan Mei seratus tahun lalu, visi itu menjelma jadi organisasi modern pertama di tanah Hindia Belanda: Budi Utama (selalu dieja: Utomo, dan sekaligus menjawakannya).

Serat kultural Jawa

Identitas memang perkara licin, selalu tak (pernah) pasti. Alih-alih dari itu, identitas senantiasa merupakan pertaruhan, pertarungan, ataupun negosiasi. Kepastian identitas—apalagi jika mendapat terjemahan institusional dan politisnya—malah bisa sangat berbahaya. Buku Ricklefs memberi kita wanti-wanti soal itu.

Buku ini sesungguhnya merupakan bagian kedua dari sebuah trilogi ambisius yang mau melacak dan memerikan proses Islamisasi Jawa sejak abad XIV sampai sekarang. Dalam bagian pertama, Mystic Synthesis in Java (2006), Ricklefs menelusuri masuknya Islam ke tanah Jawa melalui berbagai tahapan konflik, rekonsiliasi, ataupun adaptasi yang rumit sehingga menghasilkan serat kultural bagi identitas Jawa—apa yang disebut Ricklefs sebagai ”sintesa mistik Jawa”. Polarising Javanese Society melanjutkan proyek itu, menyusuri pergumulan selama satu abad (1830-1930) ketika Jawa mengalami perubahan fundamental sebagai akibat penetrasi kolonial, yang membuat serat kultural tadi dipertanyakan ulang. Bagian ketiga, yang belum terbit, rencananya akan menelusuri pertarungan yang sama sejak awal abad XX sampai sekarang.

Dengan istilah ”sintesa mistik Jawa” yang lebih netral, alih-alih ”agama Jawa” (Geertz) atau ”Javanism” yang dulu sering dipakai para misionaris Belanda, Ricklefs menggarisbawahi bahwa identitas Islam sungguh-sungguh telah menjadi serat kultural terpenting bagi orang Jawa, baik pada lingkup aristokrat maupun masyarakat pada umumnya. Berkaitan dengan itu, elemen kedua dari sintesa tersebut adalah luasnya praktik-praktik ritual yang menjadi kelima soko guru Islam: syahadat, shalat lima waktu, bersedekah, puasa pada bulan Ramadhan, dan pergi ke Tanah Suci.

Yang menarik, elemen ketiga dari sintesa tersebut, menurut Ricklefs, adalah penerimaan terhadap figur-figur adikodrati yang selama ini hidup, dipercayai, dan dipraktikkan oleh penganut kepercayaan lokal masyarakat Jawa. Memang aneh melihat bagaimana tuntutan monoteis Islam yang keras dapat bersanding damai dengan figur-figur adikodrati kepercayaan lokal, seperti Nyai Roro Kidul, Sunan Lawu, Semar, dan seterusnya. Namun, Ricklefs yakin, pada masa sekitar tahun 1800-1830 ada semacam konsensus bahwa sintesa ketiga elemen itu menjadi sumber-sumber identitas kultural seseorang yang menentukan apa artinya menjadi ”orang Jawa”.

Segalanya berubah sejak dekade 1830-an. Berakhirnya Perang Diponegoro, dimulainya cultuurstelsel, serta perbaikan sarana transportasi dan komunikasi memberi tekanan luar biasa pada sintesa mistik itu yang, kemudian, menceraiberaikan elemen-elemennya. Proses purifikasi paham keagamaan dan reaksi terhadapnya menjadi benang merah yang memintal buku ini.

Dengan mendedah data statistik berdasarkan asal-usul jemaah haji, Ricklefs menengarai mereka yang setelah kembali dari Tanah Suci berusaha melakukan reformasi keagamaan (sering dikenal sebagai ”guru kitab”), sebagian besar datang dari daerah-daerah di mana masih belum banyak figur kiai tradisionalnya, yakni mereka yang biasanya dikenal sebagai ”guru tarekat”. Data statistik itu, kata Ricklefs, setidaknya mengisyaratkan adanya ”kontestasi gagasan yang sedang berkembang di dalam lingkup Islam, di mana para kiai dan haji memainkan peran masing-masing yang berbeda”. Atau, sembari mengutip pengamatan jeli E Gobbé tahun 1928, ”Pada banyak wilayah terlihat konflik yang muncul antara para guru tarekat dan guru kitab” (hal 63 - 69).

Arus purifikasi yang dibawa ”golongan putihan” ini menciptakan polarisasi sosial yang semakin runcing. Sebagian besar masyarakat, yang juga Muslim, kini menjadi ”bangsa abangan”—sebuah kategori sosial yang bahkan belum dikenal sebelum 1850-an—yang dianggap ”tidak tahu agama” atau bahkan ”belum beragama” karena masih mempraktikkan kepercayaan lokal (hal 103-104).

Menariknya, proses purifikasi serupa juga terjadi dalam lingkup kekristenan, dengan dihancurkannya eksperimen ”Kristen Jawa” ala Sadrach oleh ”Kristen londo” yang dibawa para misionaris (Bab V). Sementara itu, para priayi, kaum aristokrat Jawa yang diuntungkan oleh cultuurstelsel dan menjadi ”elite profesional” dalam struktur birokrasi kolonial, mulai mengembangkan gagasan-gagasan baru mereka tentang kejawaan pra-Islam (Bab VI) lewat Bramartani, harian pertama berbahasa Jawa yang terbit pertama kali tahun 1855 di Surakarta. Bagi para priayi, tulis Ricklefs, ”Budaya Eropa seperti membuka pintu ke dalam penemuan modern dan kosmopolitanisme, akan tetapi pada saat bersamaan pada identitas kultural Jawa yang lebih adiluhung, lebih otentik” (hal 129).

Identitas yang terbelah

Apa yang dilakukan Ricklefs pada dasarnya mau mengurai pertarungan dan perubahan identitas ”Islam lokal” di Jawa selama satu abad yang menentukan. Sampai tahun 1830, rajutan identitas itu masih utuh terjaga oleh sintesa mistik Jawa dengan ketiga elemennya. Tetapi, sejak itu tiap-tiap elemen dalam sintesa tersebut tercerai-berai dan makin memperlebar polarisasi masyarakat.

Memasuki abad ke-20, polarisasi masyarakat Jawa di atas memperoleh terjemahan institusional dan politisnya. Identitas tiap-tiap kelompok tidak lagi cair, melainkan mengeras dan saling berhadapan. Itulah cikal bakal dari apa yang sering disebut sebagai ”politik aliran”, ketika perbedaan di dalam suatu tradisi keagamaan memperoleh reproduksinya pada tataran sosial politik. Kita tahu perbedaan ”aliran” ini menjadi salah satu faktor utama pembunuhan massal 1965-1966 yang mengawali rezim totalitarian Orde Baru.

Banyak orang menengarai, ”politik aliran” kini tidak lagi punya jejak pada masa reformasi. Tentu saja ini butuh penelitian lebih mendalam. Akan tetapi, buku Ricklefs memberi kita wanti-wanti betapa berbahayanya ketika perbedaan internal di dalam suatu tradisi keagamaan direproduksikan secara sosial politik, dan karena itu sangat gayut dengan masa sekarang. Di tengah pertarungan identitas yang kini marak di lingkungan gerakan Islam, refleksi Ricklefs patut direnungkan sungguh-sungguh.mr-kompas.Trisno S Sutanto Aktivis Interfaith di Jakarta

Tidak ada komentar: