Kamis, 18 September 2008

Seperti Tidak Ada Kematian


Karya: Setiyo Bardono

Hujan deras semalaman, menyisakan gerimis yang membuat pagi seakan enggan beranjak. Suasana akhir pekan membuat beberapa penduduk kampung memiliki lebih banyak alasan untuk merapatkan selimut mimpinya. Apalagi tidak ada suara serak dari speaker musholla yang menyerukan berita penting.

Sepertinya memang tak ada alasan bagi beberapa orang untuk segera beranjak dari tempat tidur. Bahkan ketika istri-istri mereka yang baru saja pulang belanja di warung sebelah mengabarkan sebuah berita kematian.
"Bayi Bu Sari meninggal dunia."
"Innalillahi... Bu Sari siapa?"
"Itu lho yang ngontrak di belakang rumah Pak Jajang."
"O..."
“Coba tengokin Pak, kasihan kan…”
“Ibu saja deh…”

Berita kematian itu tetap membuat pagi seakan enggan beranjak. Hujan deras semalaman seperti telah menghanyutkan aroma kematian itu jauh memenuhi empang besar di sudut kampung yang hanya berisi sampah, ikan mujahir hitam dan sapu-sapu. Tapi hujan deras sepertinya tidak mampu menghapus duka yang memenuhi kamar kontrakan seluas 2 x 4 meter di belakang rumah Pak Jajang.

Duka itu tersimak dari pembicaraan tiga orang yang berada di beranda rumah Pak Jajang. Sebuah rekontruksi kematian meluncur terisak dari mulut Bu Jajang.

Duka itu berawal dari ketukan pintu yang begitu menghiba di tengah malam. Bu Sari yang sedang hamil 8 bulan merasakan perutnya mual-mual. Suaminya yang sedang mencari pinjaman uang belum juga kembali. Pak Jajang segera memanggil Mak Icih, dukun beranak langganan kampung Cinangka. Kepiawaiannya menolong persalinan ternyata tidak cukup berarti kali ini. Bayi itu ternyata telah meninggal dalam kandungan. Setelah salah satu lengannya merogoh ke dalam rahim, Mak Icih berhasil mengeluarkannya.

"Kepalanya pecah, darahnya banyak sekali. Darah itu..."
Rekontruksi berhenti mendadak. Tubuh Bu Jajang tiba-tiba terkulai lemah. Pak Jajang segera membopongnya ke dalam rumah. Sepertinya peristiwa malam itu begitu dalam membekas di benak perempuan tua itu.
--- oOo ---

"Suaminya mana...."
Pak Sukri segera menghampiri Pak RT yang datang dengan tergopoh-gopoh.
"Kamu cari papan atau bambu untuk menutup lubang kuburan."
Tubuh Pak Sukri yang tergesa menghilang tiba-tiba kembali lagi dengan sebuah pertanyaan.
"Cari bambu di mana ya?"
"Coba ke rumah Bang Japrak. Itu yang rumahnya dekat rumah Pak RW."
"Kalau rumah Pak RW dimana?"
Pak RT menghela nafas panjang.
"Di belakang musholla atas. Tanya saja di sana."
Petunjuk itu segera melesatkan tubuh Pak Sukri.
"Gimana Te..," tanya Pak Jajang.
"Sudah beres. Tinggal ngubur saja...."

Pak RT membuka kopiah dan menggunakannya sebagai kipas untuk menghalau keringat yang membasahi tubuhnya.
“Kalau bukan karena Mang Ujang, saya sudah angkat tangan. Kartu Keluarga dia nggak punya. Tinggal di sini juga nggak pernah laporan sama saya.”

Mang Ujang adalah satu-satunya penduduk kampung yang mengakui keluarga Pak Sukri sebagai saudaranya. Entah saudara dari mana, tetapi keberadaan Mang Ujang sebagai salah satu tokoh masyarakat, membuat Pak RT mau tidak mau harus turun tangan.
“Sebagai pemilik kontrakan saya sudah sering menyuruhnya untuk lapor ke Pak RT, tapi dia selalu bilang nanti saja kalau ada waktu…”. Suara Pak Jajang seperti sebuah pembelaan.
Beberapa orang ibu-ibu terlihat hilir mudik melayat. Letak kontrakan Pak Sukri yang ada di sebelah rumah, membuat mereka mau tak mau harus melewati beranda rumah Pak Jajang.
“Tadi pagi saya dan Mang Ujang mati-matian membujuk Pak Haji agar mau memberi sedikit tempat untuk menguburkan bayi itu di pemakaman.”
Kata-kata Pak RT seperti meminta sebuah perhatian. Pak Haji yang dimaksud adalah Haji Sabeni yang bertanggung jawab penuh atas segala kegiatan di lahan pemakaman Kampung Cinangka. Orang yang akan dikubur di lahan itu harus terdaftar di Kartu Kuning, yang bisa didapatkan oleh Kepala Keluarga dengan membayar Rp100.000.

Haji Sabeni selalu memegang teguh peraturan tersebut. Kewibawaannya bisa terancam bila mengijinkan sembarang orang yang meninggal untuk dikubur di pemakaman itu. Tapi sekali lagi, keberadaan Mang Ujang sebagai salah satu tokoh masyarakat Kampung Cinangka harus juga diperhitungkan oleh Haji Sabeni. Sepertinya sudah terjadi sebuah kompromi.
“Untung ada jaminan dari Mang Ujang bahwa Pak Sukri adalah benar-benar keluarganya. Kalau tidak, saya juga angkat tangan.”
Kesigapan Pak RT yang terkenal piawai dalam mengatasi berbagai persoalan kembali diuji dalam menangani masalah ini. Sepertinya seorang RT memang harus mempunyai slogan Mampu Mengatasi Masalah Tanpa Masalah.
“O ya, saya harus segera memberitahu Pak Ustad untuk mensholatkan jenazah. Kabarnya siang nanti dia mau kondangan ke luar kota.”

Pak RT kembali tergesa meninggalkan beranda rumah Pak Jajang. Dari dalam rumah terdengar teriakan Bu Jajang yang rupanya sudah siuman.
“Dayat! Cepat bangun. Ada bayi meninggal malah tidur melulu. Sebentar lagi mau diangkat… bantuin gih..”
--- oOo ---

Semua benda yang ada dalam ruangan 2 x 4 meter itu khusyuk mengikuti setiap lafal dan gerakan Pak Ustad. Pak RT dan Dayat, anak Pak Jajang menjadi makmum yang tertatih mengikuti gerakan sholat jenazah. Di atas selembar kasur lepek yang menyita hampir setengah ruangan, berbaring lemah Bu Sari dengan berlinangan air mata memandangi jasad bayinya yang terbungkus rapat selendang batik.
“Pak Ustad, terima ini sebagai syarat…”
Seorang perempuan menyodorkan selembar amplop kepada Pak Ustad setelah menyelesaikan sholat jenazah.
“Wah, nggak usah repot-repot, ini sudah kewajiban kita sebagai sesama muslim,” kata Pak Ustad sambil mengantongi selembar amplop tersebut.
Begitu kaki mereka keluar pintu, Pak Sukri langsung menyambutnya.
“Saya harap Bapak tabah dan ikhlas menghadapi cobaan ini. Bayi lahir sebagai makhluk yang suci. Insya Allah anak Bapak akan masuk surga…”
Wejangan Pak Ustad menjadi butiran air mata yang mengalir perlahan di kedua belah mata Pak Sukri.
“Setiap habis sholat, tolong kirim doa dan Al Fatihah untuk anak Bapak.”
“Terima kasih Pak Ustad.”
Pak Sukri menyalami dan mencium telapak tangan Pak Ustad.
“Sekarang jenazah sudah bisa dibawa ke pemakaman…. Maaf, saya tidak bisa ikut mengantarkannya karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan.”
--- oOo ---

Siang itu sepanjang jalan menuju pemakaman, penduduk kampung Cinangka menjumpai perjalanan jenazah menuju pemakaman tanpa arak-arakan. Pak Sukri membopong jenazah anaknya dengan dada dipenuhi dengan berjuta beban. Di sampingnya, tampak Dayat mengikutinya sambil memayungi jenazah dengan payung kecil hitam. Pak RT mengikuti mereka dari kejauhan .
Orang-orang kampung yang melihat dua orang pengantar jenazah itu tak bisa menyembunyikan perasaan yang dipenuhi tanda tanya. Sementara sejumlah anak kecil berseragam merah putih segera lari menghindar.
Ketika melewati jalan aspal, dari kaca mobil yang kebetulan melintas terlontar beberapa uang recehan. Seorang ibu muda berkacamata hitam melongok dari jendela sedan BMW-nya.
“Anak Bapak, ya…”
--- oOo ---

Di permakaman, wangi bunga Kamboja dan kerentaan dua orang penjaga sudah menunggu. Melalui beberapa kelokan di dalam pemakaman sampailah mereka pada sebuah lubang tanah yang siap menerima jenazah yang suci dan tak berdaya itu.
“Bambunya sudah datang apa belum?” Tanya Pak RT yang segera bergabung dengan mereka.
“Tahu nih, kok belum datang juga ya..”

“Udah pakai ini saja… Nanti ditukar saja pakai bambu-bambu itu. Tak baik jenazah harus menunggu lama-lama” Salah seorang penjaga muncul dengan membawa dua buah papan penanda kuburan yang tidak sudah tidak terpakai.
“Lebih afdhol kalau Bapaknya sendiri yang turun,” kata salah seorang penjaga.
“Tolong semua talinya di lepas dan mukanya dihadapkan ke arah kiblat. Pastikan mukanya benar-benar mencium tanah”
Pak Sukri menjalani instruksi itu dengan terbata-bata. Sepertinya dia sulit menemukan muka bayinya yang sudah remuk. Seremuk hatinya ketika harus meletakkan bulatan-bulatan tanah untuk menyangga posisi jenazah. Tapi bagaimanapun juga ia harus mengikhlaskannya ketika papan itu mulai ditutupkan dan onggokan tanah merah perlahan menutupi lubang hingga membentuk sebuah gundukan baru.
“Waduh… kan jenazahnya belum di-adzan-i"
Suara itu seperti petir yang menyambar kesadaran semua orang yang ada di tempat itu.
“Kok nggak ada yang ingat ya. Harusnya tadi sebelum ditutup papan.”
“Ya, namanya juga khilaf”
Pak RT berjongkok dan mendekatkan mulutnya ke gundukan tanah. Suara adzan serak berkumandang.
“Nggak apa-apa. Pasti suara adzan bisa menembus tanah merah ini.”
Dari kejauhan terdengar teriakan Mang Ujang yang tergopoh-gopoh memikul seikat potongan bambu. Semua orang yang ada di pemakaman hanya bisa tersenyum melihatnya.
“Jenazah sudah dikuburkan, kok bambunya baru datang…”
--- oOo ---

Malam harinya Kampung Cinangka menapaki kegelapan seperti malam-malam sebelumnya. Begitu juga dengan kontrakan di belakang rumah Pak Jajang. Lampu menyala redup. Pintu tertutup rapat sejak senja mulai merayap. Hanya berisik televisi dan suara anak-anak yang sayup terdengar.

Sepertinya hanya tebaran bunga dan wangi melati di salah satu gundukan tanah merah di pemakaman pinggir kampung yang benar-benar membaurkan aroma duka. Jejak yang semakin lama semakin layu terbakar panas matahari dan semakin pudar di hembuskan angin malam.

Pada hari kelima sejak kematian bayi Bu Sari, suara tangis kanak-kanak memecahkan terik siang hari. Ibu-ibu yang sedang di beranda rumah mendapati Ryan, anak ketiganya Bu Sari terjungkal dari sepeda mininya. Bu Sari yang sedang duduk di depan pintu kontrakannya, langsung menyerocos begitu melihat anaknya datang dengan tangisan.
“Makanya jangan nakal. Siang-siang main sepeda melulu. Kalau jatuh begini, Mama juga yang repot!”
Cerocosan Bu Sari membuat tangis Ryan semakin kencang, palagi ketika cerocosan berubah menjadi beberapa tamparan. Ryan kecil berlari kencang. Berlari dan terus berlari menuju jalan raya. Bu Sari hanya memandangi anaknya sambil mengumpat.
“Dasar anak nakal!”

Tidak ada komentar: