Kamis, 11 September 2008

Saleh

Saleh

Oleh: Zaim Uchrowi


Seberapa seringkah kita hari-hari ini mendengar kata 'saleh'?

Masjid di kampung asal saya, menurut cerita, adalah masjid 'tiban'. Sebuah masjid yang dipercayai ada begitu saja, seolah jatuh dari langit. Pemimpin masjid itu Mbah Kiai Sahal, kiai yang menjadi pusat spiritualitas masyarakat sekitar. Ke sanalah banyak orang datang minta restu, doa, nasihat, bahkan juga obat. Namun, sosok lain yang juga perlu diperhatikan di masjid itu adalah Pak Saleh.

Pak Saleh bukan pribadi serbasempurna. Ayah Daroji ini lebih terlihat sebagai seorang biasa, tak beda dengan para tetangganya. Rumahnya di sebelah barat masjid, terpisah oleh kebun singkong. Ia bisa ke masjid lewat kebun itu atau memutar lewat jalan bila kebun becek karena hujan. Ia akan ke blumbang untuk berwudhu. Lalu, jejak kakinya akan membasahi lantai emperan masjid. Pak Saleh yang akan menjadi imam shalat kalau Mbah Kiai Sahal berhalangan. Singkat kata, ia orang baik, sebaik namanya: Saleh.

Sekarang, semakin sedikit orang tua yang menamai anaknya 'Saleh'. Padahal, nama itu punya arti bagus, yakni 'taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah'. Juga, berarti 'suci dan beriman'. Lebih mendalam lagi, 'saleh' punya makna luar biasa sehingga disebut berulang kali dalam Alquran. Apakah karena kita sekarang lebih berorientasi duniawi dan kurang ukhrawi sehingga nama Saleh semakin ditinggalkan? Mungkin saja.

Istilah 'saleh' yang paling sering disebut ada dalam surat pendek Al 'Asr. Tegas sekali isi surat itu, "Manusia pada dasarnya merugi." "Kecuali, yang beriman dan beramal saleh ...." Di surat Attin, hal itu ditegaskan lagi, sedangkan dalam surat Alburuj disebutkan bahwa beramal saleh merupakan 'keberuntungan yang besar'.

Penyebutan kata 'saleh' yang begitu sering tentu punya maksud. Apalagi, penyebutannya hampir selalu berdampingan dengan kata 'iman'. Iman-amal saleh. Iman-amal saleh. Keduanya seperti kata-kata suci yang akan menjamin sukses manusia dunia akhirat. Kedua kata itu seperti tak dapat dipisahkan satu sama lain. Bila benar posisi amal saleh itu begitu penting, bagaimana sebenarnya istilah itu harus dimaknai.

Menteri Sofyan Djalil meyakini bahwa amal saleh bukan sekadar 'perbuatan baik'. 'Saleh' juga berarti 'profesional'. Keyakinannya itu disampaikan di berbagai kesempatan. Tak hanya saat berkhutbah, juga dalam pidato-pidato di lingkungan BUMN. Bila saleh adalah profesional, bahasannya menjadi lebih panjang lagi.

Profesional sama dengan kompeten. Dengan demikian, 'saleh' juga harus berarti kompeten atau memiliki keahlian dalam kehidupannya. Selain kompetensi, profesional juga mengandung unsur integritas serta kapasitas manajemen. Dengan demikian, amal saleh juga berarti jujur dan bertanggung jawab serta berkapasitas mengelola segala hal untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien. Dengan demikian, seorang saleh berarti seorang profesional.

Dari sana, dapat dipahami bahwa saleh, sebagaimana iman, memang kunci sukses. Bila hidup kita kurang sukses, tentu ada persoalan dalam kesalehan dan keimanan ini. Itulah yang harus diperbaiki agar lebih sukses. Dengan demikian, bila umat ini kurang sukses dalam kehidupan publik, berarti masih ada masalah dalam keimanan dan kesalehannya sehingga harus diperbaiki. Umat yang masih jauh dari profesional ini adalah umat yang masih jauh dari saleh. Itu yang perlu diperbaiki dalam Ramadhan ini.

Di tahun 1970-an, cukuplah keberadaan Pak Saleh sebagai imam masjid. Sekarang, kita memerlukan Pak Saleh-Pak Saleh yang mampu menjadi imam bisnis, imam masyarakat, bahkan imam bangsa yang baik.mr-republika

Tidak ada komentar: